Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Menemani Ibu Duduk di Taman

13 Oktober 2018   08:50 Diperbarui: 13 Oktober 2018   08:49 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Udara terlalu lengang menari-nari. Bunga tabebuya telah sesak menangisi langit yang bersikap dingin sedari pagi. Rerumputan tertidur pulas, membiarkan angan-angan angin meringkus warna di pelupuk matahari.

Dan di tepi matamu, hanya ada orang mati yang hidup kembali.

Sungguh, aku hanya ingin bernyanyi bersama pasir. Menyusun butir demi butir menjadi istana berhias anyelir. Tapi katamu, akan ada darah yang tumpah ruah, menyeruakkan bau anyir.

Aku tidak membenci hal-hal muram, tapi kamu tidak pernah ingin mengeluarkan diri dari kubangan rasa sakit yang menjerat suamimu di pemakaman yang banjir oleh hujan pada kerudungmu yang selalu hitam.

Tentu akan lebih baik jika gerimis mau memelukmu sebentar saja. Karena aku sendiri, bukan makhluk yang tepat untuk memahami perihal pelangi.

Kami tidak pernah akur. Lantas bagaimana aku harus  mencari kabar tentang warna-warni?

Membacanya di koran? Menontonnya di televisi? Atau, bertanya pada tukang sayur yang tahu segala rahasia di kota ini?

Aku kebingungan.

Kamu menyuruhku pulang, tapi rumah kita telah menjadi keping-keping di antara reruntuhan bangunan.

***

Cimahi, 13 Oktober 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun