Udara terlalu lengang menari-nari. Bunga tabebuya telah sesak menangisi langit yang bersikap dingin sedari pagi. Rerumputan tertidur pulas, membiarkan angan-angan angin meringkus warna di pelupuk matahari.
Dan di tepi matamu, hanya ada orang mati yang hidup kembali.
Sungguh, aku hanya ingin bernyanyi bersama pasir. Menyusun butir demi butir menjadi istana berhias anyelir. Tapi katamu, akan ada darah yang tumpah ruah, menyeruakkan bau anyir.
Aku tidak membenci hal-hal muram, tapi kamu tidak pernah ingin mengeluarkan diri dari kubangan rasa sakit yang menjerat suamimu di pemakaman yang banjir oleh hujan pada kerudungmu yang selalu hitam.
Tentu akan lebih baik jika gerimis mau memelukmu sebentar saja. Karena aku sendiri, bukan makhluk yang tepat untuk memahami perihal pelangi.
Kami tidak pernah akur. Lantas bagaimana aku harus  mencari kabar tentang warna-warni?
Membacanya di koran? Menontonnya di televisi? Atau, bertanya pada tukang sayur yang tahu segala rahasia di kota ini?
Aku kebingungan.
Kamu menyuruhku pulang, tapi rumah kita telah menjadi keping-keping di antara reruntuhan bangunan.
***
Cimahi, 13 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H