Pahami konsekuensi dan tantangan dari setiap pilihan. Tidak perlu iri dengan para penulis yang "warna"nya tampak selaras dengan perkembangan zaman dan selera orang-orang.
Kita tidak pernah benar-benar tahu, apakah Tere Liye lebih nyaman membuat kisah sederhana yang sarat pesan moral seperti Hafalan Shalat Delisa, atau dongeng unik yang mengusik nalar seperti Sang Penandai?
Apakah Pidi Baiq menikmati pembuatan kisah Dilan dan Milea yang booming di pasaran, atau lebih riang meracik keabsurdan yang penuh pesan macam Al-Asbun dan serial Drunken?
Percayalah, bahwa menggembirakan diri sendiri, tidak pernah menjadi antitesis dari membahagiakan orang lain. Penulis tetap dapat memerdekakan diri sendiri saat berkarya, tanpa harus melupakan pembaca, begitu pula sebaliknya.
Dalam cerpen Badut yang Menangis di Bawah Hujan dan Capcaisin, saya berpijak di perbatasan antara merdeka, dengan kehendak pembaca. Sementara dalam Elegi Jasad Renik dan Ketika Kabut Itu Pergi, saya hanya peduli pada suka cita menaburkan alegori-alegori yang konon, memusingkan orang.
Tidak ada perasaan berat. Karena, di satu waktu, saya dapat bertindak sebagai penyampai pesan. Sementara di lain waktu, saya hanya seorang bocah yang ingin bersenang-senang.
Coba saja, temukan batas antara kemerdekaanmu, dengan penerimaan publik.
Sekalipun nanti, karyamu memang sulit mendapat pembaca, tidak perlu frustrasi. Bisa jadi, kamu penulis yang lintas masa.Â
Lihatlah bagaimana karya Franz Kafka, Edgar Allan Poe, atau Oscar Wilde, yang paham betul rasanya tersingkir. Perihnya, karya-karya mereka justru baru disegani setelah mereka meninggal dunia.
Atau, sering-seringlah becermin pada semesta, tempat tulisan-tulisan disemayamkan.
Tengok kanal Fiksiana, atau ruang-ruang fiksi milik platform lainnya. Puisi dan cerpen terhidang silih berganti. Para pembaca, berlompatan dari satu semesta cerita, menuju semesta berikutnya. Belum lagi, diselingi oleh kabar dan berita.