"Apakah kau punya ayah?"
Aku menggoyang-goyang kepala, mengendikkan bahu. Bahasa tubuh favoritku, jika tidak ingin memberi jawaban.
"Aku benci sekali pada ayahku. Dia menyebalkan. Aku yakin Ibu juga berpikir begitu."
Aku bertopang dagu dengan satu tangan, menyimak. Baju warna-warni berbahan kasar yang kugunakan seperti memanas. Entah karena kondisi termal sekitar, atau tubuhku yang mengalami peningkatan suhu.
"Sejak di-PHK 3 tahun lalu, kerjanya hanya santai-santai saja. Sebelum aku berangkat sekolah, dia baca koran sambil minum kopi. Ketika aku pulang sekolah, dia hanya nonton TV sambil makan kuaci."
Aku bertopang dagu dengan dua tangan, merengut.
"Kau tidak percaya? Sungguh! Setiap hari kami hidup dengan mengandalkan hasil Ibu berjualan gorengan di pasar. Aku benci sekali."
Aku semakin merengut. Jari-jariku membentuk hati, lalu mematahkannya, menggelengkan kepala. Tidak yakin harus merespon seperti apa.
"Kau berusaha bilang apa?"
Aku menggeleng, mengendikkan baju. Menyilakan Hening bercerita lebih lanjut.
"Kau mau tau? Aku pernah bercerita pada Ibu tentang kamu yang selalu memberiku hadiah-hadiah. Bunga, boneka, cokelat. Bisa kau tebak? Ayah memotong uang jajanku! Katanya, aku tidak boleh memberimu uang atau makanan sebagai imbalan. Dia curiga kamu berniat jahat padaku. Argh!" Hening gusar, menghantam kursi taman.