"Cakra ..." Tangan Aura hendak menyentuh pundak Cakra. Baru seulas jari Aura mendarat di kemeja biru yang kusut masai itu, tangan Cakra mengelak. "Jangan sentuh!"
Aura kaget, terentak ke belakang. Ia menjerit. Punggung Aura beradu dengan pagar pembatas yang telah retak. Keduanya rapuh.
Bersama kepingan batu dan debu-debu. Aura terjun bebas.
Berlepas dari segala rahasia. Terempas.
***
Ribuan hari berlalu. Tidak pernah ada pesta pernikahan. Tidak ada pula tangis di pemakaman. Aura yatim piatu, maka Cakra pun begitu. Selepas Makassar, Cakra kembali ke kota yang selalu menggerutu karena menyimpan kisah cinta yang tragis dan jauh dari romantis.
Di kota ini, Cakra memilih hidup sendiri, dalam rumah besar yang pandai menyimpan misteri. Senyum Cakra tidak pernah lepas, mengurusi setumpuk tugas tanpa merespon tubuh yang menjerit ingin berhenti. Perasaan Cakra tak lagi bernyawa, mati bersama Aura.
Dan Cakra, masih selalu menyingkirkan sambal dari warung-warung di pinggir jalan.
Karena bagi Cakra, tidak ada sambal yang lebih enak selain buatan Aura.
Ralat.
Tidak ada sambal yang lebih enak, selain sambal yang berasal dari Aura.
Kini, Cakra tidak pernah kehabisan eskapisme dari masa lalu yang berkejaran menjadi hantu-hantu. Cakra tahu, bagaimana cara melarikan diri dari lelah dan rasa bersalah.