"Apa yang akan kamu lakukan setelah aku pergi? Menikahi pria lain yang kamu cintai?"
"Aku bukan apa-apa dan tidak berhak mencintai siapa-siapa."
Perempuan manis penjaga warung nasi ini membuat Cakra sakit kepala. Berawal dari sambal terasi yang memikat lidahnya, Aura dengan mudah menjerat hati Cakra, lalu membantingnya hingga remuk seketika.
"Untuk apa kamu tetap di sini? Kamu bisa membuka restoran bersamaku. Tinggalkan saja warung nasi tua itu. Buatkanlah masakan untuk aku, untuk anak-anak kita. Sambal buatanmu akan membuat kami selalu merindukan rumah."
Aura menggeleng, beranjak pergi. "Kamu pergi saja. Temukan perempuan yang bisa membuatkanmu sambal yang lebih enak. Tidak perlu memikirkan aku."
"Tidak bisa! Seumur hidup aku terbebani pencarian, tanpa mengetahui apa yang ingin aku temukan. Dan, bersama kamu, aku merasakan kelegaan yang begitu membebaskan. Jika itu bukan jodoh, lalu apa lagi namanya?"
"Percayalah Cakra, itu bukan cinta yang kamu inginkan." Derap langkah Aura menggema, menuruni tangga.
Cakra tidak mendapatkan logika yang tepat untuk menggambarkan situasi mereka. Dua tahun lamanya, Cakra bekerja di kantor yang berjarak 50 meter dari warung nasi Mak Surti. Cukup sekali mencoba, ia merasakan ikatan khusus pada sambal terasi yang tersaji di sana. Sambal yang menjadi pengikatnya dengan Aura.
Setidaknya dulu, sebelum angin menguji kerapuhan hubungan mereka.
"Mak, ini sambal termantap yang pernah saya coba. Beda banget rasanya. Emak yang buat?"
"Bukan, Nak Cakra. Sambal buatan Emak yang sambal ijo. Sambal terasi buatannya Rani. Dulu ibunya yang bantu masak di sini. Setelah sakit-sakitan, jadi Rani yang gantiin."