"Mereka memang predator, tapi selama tidak kelaparan, semua aman. Mereka butuh rasa percaya untuk bisa bersahabat. Kami harus mampu dipercaya dan memberi mereka kepercayaan. Sulit memang, tapi itulah inti persahabatan kan?"
Aku termenung. Gau pernah menyebut hal serupa dengan istilah solidaritas dan kesetaraan antar semua makhluk Tuhan. Gadis ini berbicara persis sepertinya. Sorot mata dan ketegasan mereka pun nyaris tidak berbeda.
Bijaksana, lembut, sekaligus berbahaya. Bagai keanggunan singa yang membuat segan lingkungannya.
Hilir mudik, sinapsis otakku mencoba berkomunikasi. Kali ini paru-paruku berhasil mengikat oksigen dengan sangat baik. Sintesa protein dalam tempurung kepalaku begitu intensif. Aku memahami satu hal yang berarti banyak. Metazoa.
Persahabatan, solidaritas, kesetaraan, dan kepercayaan.
Itu semua belum kami miliki di kota ini. Masyarakat tak lebih dari kelinci eksperimen program-program pemerintahan. Kebingungan, dan menjadi korban atas tendensi politik-ekonomi yang memihak pemodal besar.
Ya, itu dia. Kami yang seharusnya menjadi pelayan bagi banyak orang, malah bertindak laiknya pengusaha yang terus berpikir soal pendapatan. Akhirnya, terjadi malapraktik dalam pembangunan Kota Karagan.
Angka-angka besar dalam laporan tidak ada artinya jika banyak pihak yang dirugikan. Kami seperti memindahkan pundi-pundi uang dari kantung pengasong ke brankas baja para pengembang.
Aku merutuk diri sendiri. Sial. Sejak awal, pertanyaannya yang salah. Menggiring kami pada jawaban-jawaban bodoh yang menyamar jadi solusi terbaik.
Fatamorgana ada di mana-mana. Kami mengejarnya tanpa tujuan pasti selain peningkatan grafik-grafik keuangan. Hanya demi janji-janji investasi, kami berkorban nyawa sebagai basa-basi.
"Neira, sebenarnya ada hal penting yang ingin saya bicarakan," kataku hati-hati.