Bagi pembaca yang belum familiar dengan omnibus, mari kita tengok KBBI saja. Omnibus didefinisikan sebagai kompilasi beberapa karya (film, buku, dan sebagainya), biasanya ditulis atau dibuat oleh orang yang sama, melibatkan karakter yang sama atau tema yang sama, yang sebelumnya pernah diluncurkan secara terpisah.
Singkat kata, omnibus merupakan gabungan karya yang tampak acak, namun memiliki benang merah.
Dan, entah sejak kapan, saya jatuh cinta pada karya yang dikemas dengan cara ini. Tulisan, film, apapun. Rasanya menyenangkan, ketika setiap fragmennya mengusik nalar dan intelektual kita untuk mencari keterkaitan dan persamaan.Â
Ya, fokus pada persamaan, bukan perbedaan.
Beberapa yang cukup terkenal, ada buku Bidadari yang Mengembara karya A.S. Laksana, Rectoverso karya Dee Lestari, dan ada pula  film Jakarta Maghrib garapan Salman Aristo. Kita bisa saja menikmati setiap kepingannya dengan santai, namun akan tiba pada satu titik yang membangkitkan de javu, menggelitik ingatan, bahkan meledakkan pikiran.
Tapi, lebih dari itu.
Kita memahami, bahwa untuk menuju sepuluh, tidak harus melalui lima tambah lima. Namun, bisa juga dua tambah delapan, akar seratus, atau bahkan seribu dikurangi sembilan ratus sembilan puluh.
Setiap kita punya cerita sendiri yang sama menariknya, sama serunya, dan sama uniknya.
Seperti film omnibus berjudul Love besutan Kabir Bhatia. Kendati mengangkat tema cinta yang sering kali dianggap klise, setiap kisah menyajikan atmosfer magis yang berbeda-beda. Ada yang tragis, manis, atau miris, semuanya tetap romantis. Definisi rasa yang aneka rupa. Namun, tetap menggiring kita pada satu makna, perwujudan cinta. Altruistik.
Maka, beranjak dari kekaguman terhadap karya omnibus itu, saya membangun semesta Tenggelam di Langit. Omnibus yang terdiri dari kisah-kisah. Sebuah dongeng yang ingin saya sampaikan dengan suasana reklamasi Teluk Jakarta. Tentang perasaan, pergulatan batin, dan persepsi kaum urban hingga keluarga nelayan.
Semua itu, menuju satu perkara, sebuah pesan tentang hubungan antarmanusia, manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, dan geliat peradaban yang menuntut pengorbanan-pengorbanan.
Pada omnibus Tenggelam di Langit, pembaca akan menemukan fragmen yang awalnya tampak seperti titik-titik terpisah. Berupa cerpen-cerpen yang berdiri sendiri, lalu lambat laun terjalin dan bertemu di akhir kisah. Boom!
Tenggelam di Langit menjadi karya omnibus pertama saya di luar cerpen-cerpen yang terserak dan berarak mengiringinya. Saya menganggapnya berharga, meski masih banyak pekerjaan rumah untuk menambal kekurangan di mana-mana. Bagi kalian yang gandrung pada untaian Rumi, beberapa bagian dari Tenggelam di Langit akan terasa sangat akrab dan menyapa hangat.
Namun, saya ingatkan.
Tenggelam di Langit menggunakan bahasa yang biasa saya gunakan pada puisi-puisi saya, seperti Sepatu dan Sandal Gunung, Cerita Pura-Pura, atau Ulang Tahun Pernikahan. Sulit untuk memaksa penggemar teenlit menyukai Tenggelam di Langit. Bukan segmennya.
Dengan sirat-sirat yang terkandung di sana, Tenggelam di Langit saya hadirkan untuk mereka yang suka mengisi waktu luang dengan perenungan. Mereka yang gemar melontarkan pertanyaan sekaligus mencari jawaban. Mereka yang suka tantangan dan cukup bijaksana untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan.
Dan, sesuai ekspektasi, berdasarkan pengakuan pembaca, ada yang puas dan merampungkannya dalam sekali duduk. Namun, ada pula yang menyerah dan membuangnya ke tong sampah. Tak jarang pula, yang awalnya memaksakan diri menembus jalan cerita, dan berakhir hanyut di dalamnya.
Apakah kamu ingin mencoba?
Saya telah memublikasikannya di Kompasiana, namun masih belum rampung. Kamu bisa memulainya dari fragmen pertama atau fragmen kelima, sama saja.
Fragmen 4. 344 Meter per Sekon
Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (1)
Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (2)
Silakan, selamat menikmati!
Dan, jangan lupa bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H