Semua itu, menuju satu perkara, sebuah pesan tentang hubungan antarmanusia, manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, dan geliat peradaban yang menuntut pengorbanan-pengorbanan.
Pada omnibus Tenggelam di Langit, pembaca akan menemukan fragmen yang awalnya tampak seperti titik-titik terpisah. Berupa cerpen-cerpen yang berdiri sendiri, lalu lambat laun terjalin dan bertemu di akhir kisah. Boom!
Tenggelam di Langit menjadi karya omnibus pertama saya di luar cerpen-cerpen yang terserak dan berarak mengiringinya. Saya menganggapnya berharga, meski masih banyak pekerjaan rumah untuk menambal kekurangan di mana-mana. Bagi kalian yang gandrung pada untaian Rumi, beberapa bagian dari Tenggelam di Langit akan terasa sangat akrab dan menyapa hangat.
Namun, saya ingatkan.
Tenggelam di Langit menggunakan bahasa yang biasa saya gunakan pada puisi-puisi saya, seperti Sepatu dan Sandal Gunung, Cerita Pura-Pura, atau Ulang Tahun Pernikahan. Sulit untuk memaksa penggemar teenlit menyukai Tenggelam di Langit. Bukan segmennya.
Dengan sirat-sirat yang terkandung di sana, Tenggelam di Langit saya hadirkan untuk mereka yang suka mengisi waktu luang dengan perenungan. Mereka yang gemar melontarkan pertanyaan sekaligus mencari jawaban. Mereka yang suka tantangan dan cukup bijaksana untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan.
Dan, sesuai ekspektasi, berdasarkan pengakuan pembaca, ada yang puas dan merampungkannya dalam sekali duduk. Namun, ada pula yang menyerah dan membuangnya ke tong sampah. Tak jarang pula, yang awalnya memaksakan diri menembus jalan cerita, dan berakhir hanyut di dalamnya.
Apakah kamu ingin mencoba?
Saya telah memublikasikannya di Kompasiana, namun masih belum rampung. Kamu bisa memulainya dari fragmen pertama atau fragmen kelima, sama saja.