Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Muson Barat #6

17 September 2018   09:56 Diperbarui: 26 September 2018   10:57 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita ini merupakan fragmen keenam dalam omnibus Tenggelam di Langit. Bacalah cerita sebelumnya untuk memahami semesta mereka dengan lebih utuh.

Fragmen 1. Eksoskeleton

Fragmen 2. Elegi Jasad Renik

Fragmen 3. Metazoa (1)

Fragmen 3. Metazoa (2)

Fragmen 4. 344 Meter per Sekon

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (1)

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (2)

***

Fragmen 6. Muson Barat

(Semesta dalam perspektif makhluk kedua)

Batu karang tempatnya biasa tafakur telah didiami seekor kura-kura besar. Aku tahu dia enggan mengganggu, lantas memilih pasir sebagai alas duduk. Memandangi lautan, seperti yang selalu dia lakukan sejak masih dalam gendongan.

Tatapannya nanar, tapi berpendar seperti mercusuar. Dia tidak peduli, rok hitam lebar itu basah oleh sapuan ombak dan buih-buih keruh kecoklatan. Pantainya tidak pernah lagi sama. Ada pemandangan baru yang tidak ia suka. Tanah-tanah uruk didatangkan dari kota sebelah demi pulau baru di utara Karagan. Sejak itu, puluhan purnama terlewati tanpa perahu nelayan mengarungi gelombang.

Aku ingat, mereka pergi sore itu ketika banyak tamu datang membawa keributan. Ada tangisan, teriakan marah, dan deru mesin raksasa. Rumah-rumah rata dengan tanah. Semua rasa tumpah di sana kecuali kebahagiaan.

Dia yang saat ini duduk di pasir adalah satu dari mereka yang menangis paling pilu. Itu juga yang ia lakukan setiap kali datang ke pantai ini tiga kali seminggu. Mengadukan keluh kesahnya pada Tuhan. Merapal doa untuk diterbangkan angin dan ditelan suara-suara alam.

Aku bisa merasakan, dia amat kesepian. Dulu, dia tidak pernah sendirian. Dia bagian dari keluarga dengan dua anak manis dan ayah ibu yang penuh cinta. Sekarang, kulihat dia hanya membawa dua teman, bayangan dan bayang-bayang.

Padahal, kebiasaannya sudah sangat aku hafal, dia datang selepas adzan Ashar. Dia akan menangis sekitar setengah jam, sambil merangkul dirinya sendiri di atas batu karang. Setelah itu, dia memainkan pasir seperti anak kecil. Membuat ceruk berisi air.

Saat semakin pasang, ia turun untuk membelai pasir basah. Membaringkan diri dengan mata terpejam. Setelah beberapa lama, ia kembali duduk, diam. Seperti menunggu sesuatu yang tak pernah datang.

Kala lembayung senja mulai merambah pelupuk cakrawala, ia melangkah pergi. Meninggalkan janji yang tak sanggup ia ingkari. Dia akan selalu kembali ke sini.

Tapi ... kurasa hari ini istimewa.

Berbeda dari biasa.

Batu karang sudah ditempati kura-kura yang enggan pergi. Gadis itu mengalah, bersimpuh di atas pasir, menengadahkan tangan, tanpa tangisan. Membisikkan doa-doa sendu di bawah balutan rintik lembut yang jatuh dan menitik serupa embun di kerudungnya.

Bisa jadi, ada kaitannya dengan keramaian di seberang sana.
Sejak siang, orang-orang memadati pulau buatan yang belum dirampungkan. Dari kejauhan kulihat banyak wanita menangis dalam pelukan. Doa-doa kematian sayup terdengar. Aku simpulkan, ada yang pergi dan ditinggalkan.

Kuakan gagak membahasakan kisah tentang orang-orang yang tidak akan kembali ke rumah. Alam bicara tanpa pendengar, sesunyi kepakan camar. Ada yang salah, tapi bukan pada siapa, melainkan bagaimana.

Kota ini dihuni orang-orang baik yang kebingungan. Berpegang pada kebenaran yang berbeda-beda. Mereka tidak berpikir lebih dalam karena kekurangan waktu luang. Menutup kemungkinan bahwa bisa jadi, kebenaran yang mereka perjuangkan telah usang. Aku tahu, kebenaran selalu berlaku pada setiap keadaan.

Lantas, bagaimana jika mereka tidak pernah sepenuhnya benar?

Pulau buatan bukan sebuah ide buruk. Di sana, dijajakan janji manis soal masa depan. Hanya saja, waktu yang akan datang tidak pernah mengandung kepastian. Akan sangat menyedihkan jika dalam detik-detik berjalan, ada yang harus menahan sakit untuk sebuah pertaruhan.

Mereka saling berteriak, dan tak ada yang sudi mendengarkan. Semua memeluk mimpi dan keinginan siang hari untuk dibawa hingga peti mati. Berkejaran, saling mendahului untuk menjadi satu-satunya pemenang yang ambisinya terpenuhi. Kesabaran dan kasih yang terpasung membuat mereka terburu-buru, enggan menunggu.

Pada kemilau lautan dan kepiting-kepiting kecil saja, mereka mampu bicara dengan prasangka. Seminggu lalu, seorang pria berwajah lelah datang. Ia duduk di altar pasir yang sama dan menyampaikan keluhan serupa. Mereka mengadu soal manusia-manusia lainnya.

Tidak salah, tapi gegabah.

Perihal hati manusia adalah sebuah misteri besar. Tidak ada yang benar-benar paham. Hipokampus manusia mengkonsolidasi banyak memori yang kita sebut masa lalu. Hantu-hantu yang dibentuk oleh proses biokimia dan molekuler rumit. Melibatkan rangkaian peristiwa dan kejadian hingga membentuk buah pikiran.

Manusia menilai manusia, merupakan pekerjaan besar yang tidak bisa dilakukan tanpa menelusup ke dalam celah otaknya. Keterbatasan pengetahuan hanya mampu menghakimi, tanpa rasa empati. Persepsi yang menciptakan kebencian, tudingan, dan pertikaian tanpa jalan keluar. Pada akhirnya, kedamaian menjadi korban.

Mengalah dan memaafkan menjadi barang mewah yang tidak mampu mereka rengkuh. Saling memahami hanya ilusi. Percaya diri adalah kayu lapuk yang hancur dimakan rayap.

Terlalu lama memandang matahari bisa menghalau pandangan terhadap mereka yang hidup dalam bayangan. Bagai seorang pemabuk yang tak mendengar ginjalnya merengek minta dibawa ke rumah sakit.

Keinginan selalu dibandrol dengan harga tinggi. Harapan sedikit lebih murah, tapi tidak meyakinkan.

Belum lagi, tragedi tidak pernah ingkar janji. Kedukaan menanti, memeluk orang-orang yang belum mati.

Menerima merupakan satu-satunya cara untuk bersiap. Berulang kali tanda-tanda menghampiri. Menjadi firasat dan bisik nurani yang ingin disapa. Kita tidak pernah dibiarkan-Nya sendiri.

Dia, gadis yang sedang bersimpuh menghadap lautan, akhirnya menyadari itu.

Sehelai bulu hitam jatuh di tangannya. Seekor gagak terbang rendah. Wajah gadis itu seketika cerah seperti langit sore.

Kurasa dia sudah tahu, tidak ada yang benar-benar hilang. Rumah, ayah, dan masa kecilnya masih ada. Tidak ada yang terenggut dan merenggut, karena kepemilikan hanya sebatas fana. Permainan waktu. Begitu pula kehilangan.

Lamat-lamat, langit menjatuhkan selimut ungu kemerahan. Rok hitam lebarnya sudah setengah basah ketika ia beringsut pergi. Butiran pasir menempel di sana, tidak ingin ditinggalkan. 

Tangannya yang kedinginan terpaksa menyingkirkan mereka. Dia ingin pulang tanpa membawa apa-apa selain ketenangan dan ingatan soal melepaskan.

Setelah beberapa langkah, ia berhenti. Menoleh ke belakang, menatapku dalam.

Kedua mata itu indah, seterang bintang penuntun arah. Dia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Aku hanya diam, mengangguk pelan.

Aku sudah mengatakan, ini hari istimewa.

Seiring jejak kakinya hilang dihapus pelukan ombak, angin muson datang dari arah selatan. Meniup layar perahu yang telah menjadi onggokan sampah pesisir. Mereka hanya diam, tertambat seperti nasib dan surat-surat di kantor pemerintahan.

Aku masih menunggu, hingga gerimis menjadi hujan.

Lautan menyambut malam yang sebentar lagi datang, mulai pasang.

Aku turun perlahan dari batu karang. Berjalan lambat, memasuki celah batuan di balik rongsokan perahu nelayan.

Kulewati satu malam lagi, tanpa banyak keinginan.

.... bersambung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun