Seorang peserta bersorak. "Yuhuuu...! Tinggal satu pos terakhir menuju puncak!"
Perhatianku teralihkan oleh sorak-sorai rombongan. Sejak awal, puncak Gunung Parung bukan pencapaianku. Begitu pula dengan puncak-puncak gunung lain, atau segara-segara yang tersembunyi di balik rimba.
Pada setiap perjalanan, aku hanya memasuki persemayaman isi pikiran. Bertemu orang-orang baru. Memunguti celotehan mereka, untuk kubawa ke Jakarta. Menjadi pajangan dinding, pengisi buku harian, dan buku-buku baru yang dinantikan. Aku berkelana dengan menjadi latar belakang dan pelengkap jumlah orang.
Tapi, kali ini agak berbeda. Aku bosan dan kelelahan. Pendakian ini menguras perasaan. Aku gagal selaras dengan alam, manusia, dan pikiranku sendiri. Jay memenuhi lini obsesiku. Satu-satunya penawar hanya mengingat mata coklat tua dan punggung itu lagi ... dan lagi.
Pada ilalang yang menghampar di bawah jurang, aku melempar pandangan. Keril biru pada punggung yang sedih dan rambut ikal itu melintas. Menoleh padaku, tersenyum misterius. Tampak jelas sekali, tapi aku mengenalinya sebatas refleksi. Beberapa saat, lalu hilang. Tidak ada yang bisa kutitipi pertanyaaan. Aku harus menata pikiran sebelum benar-benar kesurupan.
Satu per satu peserta pendakian aku amati. Meski kaki-kaki ini berjalan di antara batang-batang perdu, kami terhalang untuk mampu menjadi satu. Hari libur bagi kami menjadi waktu kerja bagi pepohonan, burung-burung, dan semak belukar.
Mereka menerima kehadiran orang-orang dan memulihkan diri setelah kami pulang. Kecintaan manusia pada alam, belum cukup untuk membuatnya bisa tinggal. Bagaimana tidak. Menziarahi hati, tapi mengunci pintu masuk ke dalam diri
Perihal ini, aku juga sama. Pada angin yang melagukan gerisik dedaunan, pada hewan-hewan kecil yang menghindar dari pijakan, pada hujan yang patuh menjatuhkan kehidupan, pada semua itu ... aku tidak peduli. Tanganku memang tidak terikat pada benda-benda mahal berteknologi tinggi, tapi aku juga terlalu bebal untuk menyapa semesta.
Aku, orang asing yang datang dari lingkup asing dan memasuki kehidupan asing lainnya. Benar sekali jika dikatakan bahwa keburukan orang lain, seringkali sebentuk cermin. Memantulkan noda wajah yang tidak bisa kita lihat sendiri.
"Bagaimana perjalanannya? Kamu tidak tampak menikmati. Saya jadi merasa bersalah," Ketua rombongan menjajariku, menawarkan senyum ramah yang tidak bisa kubalas sepadan.
Aku memaksakan diri menarik ujung bibir. Menghasilkan seulas senyuman hambar. "Menyenangkan kok. Pesertanya seru, sepanjang jalan pemandangannya bagus. Pendakiannya juga nyaman. Meski ada satu yang membuat penasaran."