Tulisan Pak Hadi Santoso tentang merokok di dekat anak-anak sungguh membuat saya terlempar ke masa lalu dan ingin menuliskan ini. Terima kasih, Pak!
***
Saya dikirim Tuhan ke rahim seorang perempuan yang sedang bergelut di tengah pertaruhan orang-orang rantau. Tumbuh besar di antara Para Bajingan yang Menyenangkan, seperti judul buku Puthut EA. Kakek tiri saya, bandar judi sampai akhir hayatnya. Tidak perlu menghibur saya dengan kalimat, "Biar hidup pas-pasan asalkan halal", karena itu tidak berguna dan tidak relevan.
Warung kopi milik nenek saya, menjadi tempat berkumpul berbagai kesalahan. Dunia kelam, membuat saya mengerti alasan-alasan di balik suatu kejahatan. Saya mahfum pada kelakuan preman-preman pasar, dan itu membuat saya bisa empati pada anak-anak jalanan yang memilih beli lem daripada makanan.
Tapi, itu masa lalu.
Saya melawan teori yang mengatakan nurture lebih dominan dari nature.
Fitrah tetap fitrah. Di hati, ada ruang untuk memandang kejernihan. All the light we can not see, can be felt. Cahaya-cahaya yang tidak mampu kita lihat, bisa kita rasakan.
Hidup di antara semua hal "hitam" ketika kecil, tidak membuat saya memaafkan perjudian, pelacuran, adu ayam, dan ROKOK. Saya akan mengutuk semua itu sampai liang lahat. Dan saya mau menyoroti kata yang tertulis dengan huruf kapital.
ROKOK.
Bapak saya, kakek tiri saya, dan om tiri saya, seorang perokok berat. Fine. Saya maklumi segala lika-liku yang membuat mereka bersandar pada batangan itu sebagai penghilang penat dan penambah konsentrasi.
Saya biarkan mereka menikmati satu hiburan itu, selama uang jajan saya masih cukup dan tidak terpotong untuk beli rokok 212 (bukan angka sebenarnya), kesukaan bapak saya.