Kami berkemas, bersiap menuju pos selanjutnya. Jay tidak ada. Sudah dua jam berlalu sejak ia menghilang di balik semak. Dia bahkan sudah membawa keril birunya. Aku ragu dia berniat kembali. Kami berangkat lima menit lagi.
"Tunggu dulu. Jay hilang," kataku pelan. Berharap seseorang akan mendengar. Aku tahu, "hilang" kata yang buruk untuk menjelaskan situasi. Faktanya, Jay tidak ada bersama kami.
"Jay hilang?" Gadis kuncir kuda mengulang kata-kataku dengan nada bertanya. Aku lega. Jika dia yang bicara, semua orang pasti sadar. "Jay siapa? Ada ya yang namanya Jay?" lanjutnya. Aku mendengus.
"Tenang, Jay berangkat duluan. Nanti ketemu di pos empat," ujar ketua rombongan. Memasang senyum terlatih yang menyamankan setiap orang.Â
Aku tidak, ada cemas yang belum tuntas.Â
Bukan hanya karena Jay, melainkan juga karena pria bertopi yang mengamati kami sejak tadi. Ia berdiri ragu-ragu, menyaru di balik batang pohon gaharu. Aku yakin ia orang yang sama dengan semalam. Kendati curiga, aku memilih diam.
Mungkin hanya warga setempat, pendaki, atau ... psikopat?
Aku menghapus segala kemungkinan. Siapapun dia, kurasa ada hubungannya dengan sikap Jay yang tidak biasa. Punggung yang sedih dan kilat di mata coklat tua. Aku bisa gila jika kembali ke Jakarta membawa itu semua. Meski aku juga sadar, kota besar begitu lihai membuatku lupa.
Kami meneruskan perjalanan. Sosok itu tidak lagi ada di sana.
.... bersambung ke sini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI