Alih-alih ikut ribut membicarakan makhluk hitam itu, aku justru tertambat pada reaksi Jay. Sekilas, aku melihat kilat menyambar di tatapannya. Merobek selimut bayang-bayang di sana.Â
Dia mengacak rambutnya dengan geram. Murka, bingung, duka? Dia mendadak seperti buku rahasia yang sulit aku baca.
Ketua rombongan sigap meredam kegaduhan. Mungkin hanya anjing liar, katanya. Mungkin juga beruang, kataku. Mungkin anjing liar setinggi 6 kaki, kata yang lain. Gadis kuncir kuda yang menjadi saksi mata pertama hanya tertawa-tawa. Tak ada raut trauma.
Sementara itu, Jay tidak kembali dalam lingkar api unggun. Dia beranjak pergi dan aku seketika patah hati. Dia mematung menghadap kabut.
Siluet punggung dan rambut ikal itu terlihat sedih ... dan begitu jauh.
Dimana pikiran dan tatapan itu berlabuh?
***
Sarapan pagi kali ini tersaji bersama keluhan berkepanjangan. Tidak ada seorang pun yang membicarakan sosok misterius tadi malam. Langit menjadi kambing hitam karena terus menjatuhkan kesenduan. Katanya, foto-foto mereka jadi membosankan.
Aku tidak setuju. Aku mengingat kelabu sebagai surga bagi teh manis dan roti lapis.Â
Selimut terbaik adalah dingin milik pagi tanpa matahari. Ia bisa merendam kata-kata hingga memuai menjadi cerita. Melupakan tenggat waktu dan merasa cukup.
Keberadaan Jay merupakan hal lebih. Dia mimpi yang menanti di persimpangan. Ada untuk dilewatkan, bukan sebagai tujuan. Sekadar hujan yang terjebak di bait sajak. Pelangi di bawah ngarai. Menawan, tapi tidak untuk di simpan.
Aku, gelisah karena mudah menyerah. Tinggal dua pos lagi hingga puncak Gunung Parung. Besok kami pulang dalam dekap metropolitan. Tapi, buah tangan yang aku punya hanya lelah dan rasa penasaran.