Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cinta yang Tidak Selesai

12 September 2018   16:03 Diperbarui: 12 September 2018   16:41 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertengahan April, aku datang padamu. Kamu bahkan tidak perlu meminta perhatianku seperti mereka. Aku lebih dulu menyadari keberadaan sepasang mata di balik dinding, lalu menuju ke sana. Menuju kamu.

Kamu duduk di pojok ruangan, memeluk lutut. Dengan pakaian lusuh, kaki penuh lumpur, berselimutkan aura aneh yang tak kupahami. Bau khas perpaduan matahari, hujan, dan tanah basah semerbak dari tubuh dan rambutmu. Bau alam.

"Siapa namamu?" Aku bertanya hati-hati.

Kamu diam, menatap dinding dan menghindari terciptanya kata "saling". Aku geming sejenak, lalu duduk bersandingan denganmu. Ikut memeluk lutut.

"Kenapa ke sini? Keluar saja, bergembira bersama yang lain," katamu. Aku lega, akhirnya bukan aku yang harus angkat bicara.

"Aku tidak suka bergembira. Terlalu bising," responku seraya menatap matamu. Mata yang tetap menatap dinding, seolah mencari teman bicara yang lebih hening. Aku menahan diri, tak akan banyak bicara jika itu yang kamu suka.

Aku mengalah, lalu kamu menyerah. Kita bukan siapa-siapa untuk mampu membaca hati masing-masing. Kata, terkadang lebih dibutuhkan daripada sekadar rasa.

"Namaku Dani," katamu tanpa menyodorkan tangan laiknya orang berkenalan. "Kamu Cahaya, kan?"

Pertanyaanmu membuatku mengerutkan dahi. "Bagaimana kamu tahu bahwa aku Cahaya?"

"Tanpa perlu bertanya atau mencari tahu, semua orang dapat mengenali cahaya lebih dari dirinya sendiri."

Jawabanmu membuatku terbungkam. Pada saat yang sama, sinar matamu meredup. Rindu memenuhi relungnya, membuat sendu berhamburan ke lantai abu-abu yang sudah menghitam.

"Apa yang kamu rindukan?"

Dani menoleh, dia menatapku dengan sorot mata yang setengah melayang-layang. Tak lama, hanya dua detik. Namun cukup untuk memberi tahu aku warna matanya yang coklat muda. Entah alami, atau karena hal lain yang tidak ingin aku ketahui.

"Rumah," jawabmu dengan satu kata yang memanggil banyak pilu dalam ingatanku. Bahasa tubuhmu membuatku sadar bahwa kau tidak hanya membicarakan rumah sebagai tempat tinggal secara raga. Melainkan jiwa, hati, dan segala yang tak mampu dicerna mata.

"Kamu rindu pada-Nya?"

Dani mengangguk. Dia tahu, dunia tak menyediakan tempat istirahat baginya. Tapi dia tidak sadar, bahwa miliknya telah dirampas oleh orang-orang lain yang lebih "pintar".

"Aku juga," ujarku. Langit-langit terasa merendah dan hati kita berangsur buncah. Kamu dan aku, kenangan tumpah.

"Kamu juga? Bukankah setiap hari kamu bisa berbahagia? Untuk apa kamu merindu?"

Aku menggeleng. "Aku berasal dari gelap, dan aku selalu takut pada ujung jalan yang penuh kabut."

Kamu takjub, menatapku cukup lama sebelum akhirnya mengeluarkan semua yang aku tunggu. Cerita-cerita. Masa lalu dan masa-masa yang berdebu. Masa depan dan masa-masa yang sulit dijelaskan.

"Kita tidak bisa memilih berada dalam rahim siapa. Tapi, seperti apa akhir hidup yang kamu inginkan? Dan, apa yang kamu lakukan sekarang?"

Pertanyaan itu kulontarkan pada diriku sendiri, dan kamu ikut mendengarkan. Kita satu dalam renungan. Kita satu dalam rasa yang seketika tidak karuan.

Sampai di tepi malam, kita berpisah di pinggiran pasar berbau ikan.

Aku menuju kenyamanan, dan kamu jatuh tertidur di bawah atap yang penuh bintang. Sambil membayangkan reaksiku kala mendengar cinta yang kamu titipkan pada memori gawai kesayanganku. Sebuah lagu.

Satu jam saja, ku telah bisa cintai kamu, dihatiku.
Namun bagiku, melupakanmu butuh waktuku seumur hidup.

Lagu itu berasal dari band yang tenar di dunia marjinal. Habitat kamu. Tapi aku mendengarkannya dengan khidmat seolah menyimak musik klasik besutan Mozart. Aku bertanya-tanya, bagaimana kamu tahu bahwa aku tak akan kembali ke sana lagi dalam waktu yang sangat lama?

"Terima kasih sudah membuatku mengenal cahaya."

Hanya kalimat itu yang tertulis pada surat lusuh dengan aku sebagai penerima. Aku menatap tulisan tanganmu begitu lama, dengan air mata yang menggantikan kata-kata. Aku tidak membalasnya dengan aksara, tapi doa. Menjawab pengakuan cintamu di pohon harapan yang kalian buat menjelang senja.

Lalu, di tengah-tengah pesona September yang seharusnya ceria, kamu datang. Hanya menjelma kabar. Lantas aku gamang mengartikannya sebagai kesedihan atau kebebasan.

Apakah kamu tahu, Dani?

Ini seminggu menjelang ulang tahunku. Kamu menghadiahi aku sebuah akhir kisah. Kamu berlepas dari belenggu dan tabir-tabir. Cinta kita tidak selesai, dan lebih baik kita lupakan kata "andai".

Kamu telah dipeluk, hangat.

Kamu telah genap.

Bersama kehidupan.

Inilah saat terakhirku melihat kamu
Jatuh air mataku menangis pilu
Hanya mampu ucapkan,
selamat jalan kasih ...

Suara nyanyianmu bergaung di kamarku semalaman. Berpadu dengan tangis pilu dariku karena kamu tinggalkan.

"Bagaimana rasanya menjelajahi semesta setelah mengenal cahaya?"

Tanyaku pada fotomu di halaman surat kabar.

***

Kini, delapan tahun berlalu sejak Dani berpulang. Surat itu sudah terbuang entah di mana. Aku bahkan tidak menemaninya pada saat-saat terakhir menguak tabir.

Kisah cintanya telah usai, sementara aku belum dimulai.

Akankah kita dipertemukan, Sang Sayang yang Hilang?

***

(Tribute to Dani, seorang anak jalanan yang 8 tahun lalu dipeluk malaikat maut, selepas tertabrak angkot.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun