"Apa yang kamu rindukan?"
Dani menoleh, dia menatapku dengan sorot mata yang setengah melayang-layang. Tak lama, hanya dua detik. Namun cukup untuk memberi tahu aku warna matanya yang coklat muda. Entah alami, atau karena hal lain yang tidak ingin aku ketahui.
"Rumah," jawabmu dengan satu kata yang memanggil banyak pilu dalam ingatanku. Bahasa tubuhmu membuatku sadar bahwa kau tidak hanya membicarakan rumah sebagai tempat tinggal secara raga. Melainkan jiwa, hati, dan segala yang tak mampu dicerna mata.
"Kamu rindu pada-Nya?"
Dani mengangguk. Dia tahu, dunia tak menyediakan tempat istirahat baginya. Tapi dia tidak sadar, bahwa miliknya telah dirampas oleh orang-orang lain yang lebih "pintar".
"Aku juga," ujarku. Langit-langit terasa merendah dan hati kita berangsur buncah. Kamu dan aku, kenangan tumpah.
"Kamu juga? Bukankah setiap hari kamu bisa berbahagia? Untuk apa kamu merindu?"
Aku menggeleng. "Aku berasal dari gelap, dan aku selalu takut pada ujung jalan yang penuh kabut."
Kamu takjub, menatapku cukup lama sebelum akhirnya mengeluarkan semua yang aku tunggu. Cerita-cerita. Masa lalu dan masa-masa yang berdebu. Masa depan dan masa-masa yang sulit dijelaskan.
"Kita tidak bisa memilih berada dalam rahim siapa. Tapi, seperti apa akhir hidup yang kamu inginkan? Dan, apa yang kamu lakukan sekarang?"
Pertanyaan itu kulontarkan pada diriku sendiri, dan kamu ikut mendengarkan. Kita satu dalam renungan. Kita satu dalam rasa yang seketika tidak karuan.