Sampai di tepi malam, kita berpisah di pinggiran pasar berbau ikan.
Aku menuju kenyamanan, dan kamu jatuh tertidur di bawah atap yang penuh bintang. Sambil membayangkan reaksiku kala mendengar cinta yang kamu titipkan pada memori gawai kesayanganku. Sebuah lagu.
Satu jam saja, ku telah bisa cintai kamu, dihatiku.
Namun bagiku, melupakanmu butuh waktuku seumur hidup.
Lagu itu berasal dari band yang tenar di dunia marjinal. Habitat kamu. Tapi aku mendengarkannya dengan khidmat seolah menyimak musik klasik besutan Mozart. Aku bertanya-tanya, bagaimana kamu tahu bahwa aku tak akan kembali ke sana lagi dalam waktu yang sangat lama?
"Terima kasih sudah membuatku mengenal cahaya."
Hanya kalimat itu yang tertulis pada surat lusuh dengan aku sebagai penerima. Aku menatap tulisan tanganmu begitu lama, dengan air mata yang menggantikan kata-kata. Aku tidak membalasnya dengan aksara, tapi doa. Menjawab pengakuan cintamu di pohon harapan yang kalian buat menjelang senja.
Lalu, di tengah-tengah pesona September yang seharusnya ceria, kamu datang. Hanya menjelma kabar. Lantas aku gamang mengartikannya sebagai kesedihan atau kebebasan.
Apakah kamu tahu, Dani?
Ini seminggu menjelang ulang tahunku. Kamu menghadiahi aku sebuah akhir kisah. Kamu berlepas dari belenggu dan tabir-tabir. Cinta kita tidak selesai, dan lebih baik kita lupakan kata "andai".
Kamu telah dipeluk, hangat.
Kamu telah genap.