"Sudah terasa lebih baik?"
Tiara menggeleng. "Masih sakit. Belum dicabut semua."
"Lepaskan saja semuanya. Segala yang menyakitkan, tidak baik dipertahankan." Aku menatapnya lekat. Tiara hanya diam.
"Rasa sakit cuma akan mengganggu. Apa kamu sanggup menanggungnya seumur hidup?"
Tiara menggeleng pelan. Aku melanjutkan, "Kamu tahu tidak? Gigi bungsu sering disebut sebagai wisdom tooth. Ia tumbuh pada usia ketika seseorang menjadi bijaksana. Selepas segala sakit ini, aku harap kamu juga sama."
Tiara menunduk. Getaran di atas meja mengalihkan pikiran kami. Wajah Indra, lengkap dengan segala coretan dan makian, memenuhi layar telepon genggamnya. Aku ditinggalkan begitu saja. Tiara mengangkat telepon dan bergegas keluar ruangan.
Terhalang kaca, aku memang tidak mendengar apa-apa. Tapi aku melihat kepalan tangan Tiara yang tampak geram. Berkali-kali Tiara diam, menatap langit, dengan mata nelangsa.
Aku menunggu, tapi Tiara tidak kembali. Ia izin pergi dengan alasan ke dokter gigi. Ia juga tidak pulang ke asrama. Aku merogoh saku. Sebuah pesan singkat masuk, dari Indra. Aku rasa, ini malam terakhir kefanaan Tiara.
***
Pagi yang terlalu sepi menjelang Idul Fitri, Tiara sudah siaga di depan komputer dengan setumpuk dokumen. Aku mengucapkan selamat pagi. Mata Tiara lebih sembap dari sebelumnya, namun jelas ia tampak begitu lega.
"Sudah dilepaskan?"