Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Eksoskeleton #1

9 September 2018   00:17 Diperbarui: 18 September 2018   00:31 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tunggu, tunggu Ketang. Udara kota dipenuhi polutan pencekik tenggorokan. Aku mengerti alasan mereka tetap di dalam. Pindah dari satu cangkang ke cangkang lain. Rumah, mobil, bis, toko, restoran, atau apapun itu." 

Selama ini yang aku pahami, seekor keong bergelung dalam cangkang untuk berlindung dari ancaman. Aku kira orang-orang juga sama. Eh, tapi ... bukankah manusia ada di posisi tertinggi rantai makanan? Aku tidak pernah dengar tentang predator pemangsa jiwa. 

Bahasa macam apa itu?

"Aku sudah bilang kan? Kesombongan. Memantik orang-orang berbuat kerusakan, namun merasa sekuat tenaga membangun peradaban. Pontang-panting berlindung dari monster, yang ternyata hanyalah cermin."

Kepalaku berdenyut. Berusaha mengunyah kata-kata Ketang. Bagaimana aku mencernanya jika mengunyahnya saja aku tak mampu?

Lagi-lagi, aku dikerubuti pertanyaan. Seringkali aku heran, betapa desa dan kota menjadi jurang perspektif kami. Jika atmosfer desa mampu membuatku lebih bijaksana, kapan-kapan aku akan menyelinap dalam mobil pembawa sayuran yang setiap pagi terparkir di pinggir taman. Mengunjungi desa tempat Ketang ditempa semasa kecilnya. 

"Manusia selalu ingin memiliki, dan menggunakannya sebagai jati diri. Setiap kali berada di luar, akan merasa asing dan sendirian. Tidak berdaya dan tidak memiliki, itu hakikat makhluk yang kita pahami. 

Tapi, orang-orang tidak ingin menerima. Mereka butuh prestise, identitas, dan pengakuan. Menghirup kuasa dan jumawa dengan eksoskeleton yang luar biasa megah. Tempat berlindung bagi jiwa mereka yang luar biasa lemah." 

"Itu penjelasan brilian tentang hal terbodoh yang pernah aku dengar. Jadi ... mereka bersembunyi karena rasa takut terhadap ketidakberdayaan? Omong kosong. Bukankah mereka lebih berdaya jika di luar cangkang?" 

Ketang tertawa kecil, mengangguk. "Begitulah. Padahal, semakin mereka mengelak, kelemahan mereka semakin tampak. Manusia memilih untuk memiliki, daripada menjadi."

Giliran aku yang tertawa. Getir. Tak menyangka logika manusia kota begitu sulit dicerna. Lelah sekali jika harus lari dari wajah sendiri. Mengelabui kenyataan sama saja menabur garam di kolam agar terasa manis. Tragis. Tidak berkorelasi, menuju kontradiksi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun