Ki Sardipala bersumpah akan membuktikan kapada warga kalau dirinya tidak pernah bersalah. Dia menjadi korban fitnah Kaji Kusen yang tidak suka padanya. Kaji Kusen menuduh Ki Sardipala sebagai dukun santet yang banyak menelan korban warga Desa Warudoyong.
"Usir Ki Sardi! Dukun santet yang membunuh Lastri untuk tumbal ilmu hitamnya!". "Bukan. Itu fitnah! Aku hanya tabib biasa yang membantu kalian semua! Warga yang sudah terprovokasi oleh Kaji Kusen langsung menyeret tubuh Ki Sardipala yang sudah mulai renta. Ki Sardipala seperti seekor sapi perah yang akan dipotong saat Idul Adha untuk Qurban, kedua tangannya diikat ramai-ramai oleh warga Desa Warudoyong. Warga menariknya ke dalam hutan Larangan di pinggiran Desa Warudoyong. Kaji Kusen melarang kepada semua warga menengok, apalagi memberikan makan dan minum pada Ki Sardipala.
Siapapun yang melanggar aturan tidak tertulis Kaji Kusen akan dicap sebagai subversive dan diancam dengan hukuman yang tidak tertulis. Ya. Aturan orang yang bisa membeli dan menjual hukum dengan uang. Demikian juga hak dan kewajiban warga juga harus dihitung dengan uang, kewajiban dijalankan hak akan uang juga akan dibayarkan. Tidak ada di dunia yang serba gratis!"teriak Kaji Kusen berkali-kali kepada warga Desa Warudoyong. Gotongroyong, tanggangrasa, kerja bakti, itu hanya omong kosong belaka dan tidak produktif. Itulah kontroversi Kaji Kusen. Walaupun kontroversi, warga desa tidak ada yang berani menentang tindak-tanduknya. Melawan berarti habis! Habis pencahariannya, habis kebebasannya, dan habis hidupnya! Paling tidak seperti nasib Ki Sardipala, diasingkan di hutan paling angker di Desa Warudoyong.
Kepala desa sekalipun tidak berdaya, ketika hukum adatnya diinjak-injak oleh uang Kaji Kusen. Semua harus tunduk pada Kaji Kusen atau tepatnya semua harus tunduk pada uang!. Keadilan tidak ada dalam undang-undang, benar dan salah tidak ada dalam pasal, hukum tidak ada dalam ayat, dan keputusan tidak ada dalam palu hakim. Semua hanya ada dalam uang!.
Bisa jadi Ki Sardipala hanyalah satu dari sekian puluh korban konspirasi Kaji Kusen. Bahkan, bisa jadi Sulastri yang dijadikan sebagai alibi untuk mengusir Ki Sardipala adalah salah satu korbannya. Sulastri adalah anak kelima dari istri ketiga Kaji Kusen yang meninggal tanpa diketahui sebab musabab penyakitnya. Dan, celakanya. Sulastri meninggal setelah ditengok oleh Ki Sardipala tabib Desa Warudoyong yang terkenal obatnya mujarab.
Tetapi pepatah mengatakan; sepandai-pandainya tupai melompat jatuh juga. Sehabat-hebatnya Kaji Kusen membungkus semua kebusukannya akhirnya kebongkar juga. Adalah Ki Sardipala orangnya, Si tabib hebat yang terkenal dengan racikan daun sirihnya.
Pada malam yang gelap gulita, hujan lebat disertai petir yang menyambar-nyambar menyambangi desa Kaji Kusan. Semua penduduk sudah tertidur pulas dengan mimpinya masing-masing. Rumah Kaji Kusen terlihat sangat sepi. Lampu minyak yang dipasang di sudut rumahnya mulai terlihat binar-binar padam sebab dikulum oleh air hujan yang mendera. Para penjaga rumah yang biasanya kumpul digardu dan ngobrol, kali ini tertelan oleh rasa kantuk yang menyengat. Semua tergeletak bak pepesan pindang diruang gardu, terlelap dalam alam mimpinya masing-masing.
Tiba-tiba. Berkelebat lima tubuh orang berbaju dan berjubah hitam berhamburan masuk ke dalam rumah Kaji Kusen, tanpa bisa dicegah oleh para penjaga. Dan, hanya dalam waktu sepuluh menit seluruh brankas uang dan perhiasan milik Kaji Kusen sudah pindah tangan ke dalam dekapan para tamu tak diundang tersebut. Belum lengkap kesadarannya dari tidur yang pulas. Kaji Kusen jalan terhuyung ketika tiba-tiba sebilah golok menerjang lengan kiri dan pinggangnya. "Braaak! Sreet! Sejurus kemudian sang pencuri sudah hilang ditelan malam. "Tolong! Tolong! Tolong!. Teriakan Kaji Kusen mambangunkan semua penjaga dari tidurnya.
"Ada apa. Ji?. "Kalian semua penjaga. Kerjaannya molor saja!."Cepat tolong tangan dan pinggangku!,"teriak Kaji Kusen dengan meradang. Darah mengucur deras dari lengan dan pinggangnya. Para penjaga dan tukang pukul Kaji Kusen tergopoh-gopoh datang memapahnya. Sementara yang lainnya mengambil kain dilemari dan ramuan tradisional. Sejurus kemudian mereka sibuk memerban tangan dan pinggang Kaji Kusen. Tapi tetap saja darah terus mengucur sehingga badan Kaji Kusen semakin lemas dan wajahnya menjadi pucat.
"Cepat panggilkan tabib agar lukaku tidak bertambah parah!"teriak Kaji Kusen. Ada lima anak buah Kaji Kusen yang berhamburan ke luar rumah tengah malam. Mereka keliling desa mencari tabib. Tetapi sampai pagi mereka tidak menemukannya. Menurut catatan Kepala Desa, di Desa Warudoyong terdapat lima tabib hebat yang bisa mengobati luka. Tetapi empat tabib sudah meninggal dibunuh oleh anak buah Kaji Kusen, dengan tuduhan yang sama; dicap dukun santet dan dituduh subversive. Sementara satu-satunya tabib yang tersisa adalah Ki Sardipala, tapi sudah diusir di dalam hutan Randubelatung.
"Cari tabib di desa sebelah!,"teriak Kaji Kusen mendengar laporan lima anak buahnya yang pulang dengan tangan kosong. "Ampun. Ji! Semua tabib di desa sebelah yang kami datangi tidak bersedia, bahkan mereka sudah kabur sebelum kami datang mengetuk pintu rumah mereka,"jawab salah seorang anak buah. "Satu-satunya tabib yang tersisa dan kemungkinan mau datang hanya Ki Sardipala. Ji!. "Apa kau bilang?. Sampai matipun aku tidak sudi meminta tolong sama dukun santet itu!,"teriak Kaji Kusen sambil melotot.
Darah semakin banyak keluar dari lukanya. Kaji Kusen tambah lemah. Akhirnya dia berubah pikiran. "Panggil Ki Sardipala ke sini cepat!. Seorang anak buahnya melompat ke luar rumah. Pandangan Kaji Kusan sudah berkunang-kunang, mukanya sudah tidak berwarna lagi, ketika Ki Sardipala datang memanggil namanya. "Ternyata kamu masih butuh saya. Ji?. "Tolong, Ki. Lirih suara Kaji Kusen. "Saya mau menolong kamu, tapi dengan dua syarat!"pinta Ki Sardipala. "Apa, Ki?. "Pertama cabut tuduhanmu padaku kalau aku ini adalah dukun santet! Kedua cabut pohon sirih yang ada di halaman rumahmu!. "Baiklah. Aku terima dua syaratmu asal kamu bisa menyelamatkan nyawaku. Ki!.
Seorang anak buah Kaji Kusen membawa pohon sirih ke arah Ki Sardipala, kemudian dia mengambil seggenggam dan dikunyahnya cepat-cepat. Kemudian kunyahan daun sirih tersebut dibalurkan pada luka dilengan dan pinggangnya, sedangkan sisanya diberikan pada Kaji Kusen agar ditelan. Mulut Ki Sardipala komat-kamit membacakan jampi, kemudian disemprotkan ludah bekas kunyahan daun sirih ke luka Kaji Kusen. "Waduh! Sakit, Ki!"teriak Kaji Kusen. Tetapi tidak begitu lama kedua luka Kaji Kusen mengering dan wajahnya kembali segar seperti sedia kala.
Setelah merasa baikan. Akhirnya Kaji Kusen menceritakan semua keburukannya. Sebenarnya Sulastri meninggal karena dibadalkan(dijadikan tumbal) untuk memperoleh kekayaanya selama ini. Dan, supaya kekayaannya tidak pernah habis Kaji Kusen harus menanam pohon sirih di halaman rumah yang dirambatkan pada tembok rumah. Pohon sirih itu akan menentukan kehidupan Kaji Kusen; mematikan sekaligus menyelamatkan.
Ternyata benar. Ki Sardipala menyembuhkan luka Kaji Kusen dengan daun sirih. Tetapi setelah pohon daun sirih itu dicabut sampai akarnya, seluruh harta kekayaan Kaji Kusen tiba-tiba habis bak hujan diterpa angin. Sejak saat itu Kaji Kusen menjadi orang yang paling miskin di desa Warudoyong. Untuk mempertahankan hidupnya, Kaji Kusen memutuskan menjadi pedagang daun sirih di pasar desa.
Dulu semua orang tahu Kaji Kusen adalah orang terkaya di desa, semua aturan bisa dia beli, persoalan bisa dia bayar. Tapi kini semua orang tahu kalau Kaji Kusen adalah orang termiskin di desa. Tidak ada lagi yang menaruh hormat padanya. Si penjual hukum! Si biang kerok! Si Raja harta! Dan seluruh gelar buruk disematkan padanya oleh warga. Tapi tidak dengan Ki Sardipala. Tidak sedikitpun ada rasa dendam dalam dirinya terhadap Kaji Kusen. Di belinya daun sirih Kaji Kusen setiap pagi untuk istrinya yang gemar menyirih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H