Universal-ku: Negara dalam Negara
( Dialetika)
A: Saya sedang memikirkan tentang negara. Apakah kamu memperhatikan negara kita? Sebenarnya, apa itu negara? Bagaimana ia terbentuk, dan dari mana asalnya?
B: Tentu saja, negara terbentuk karena adanya rakyat atau bangsa.
A: Ya, tapi dari mana bangsa itu berasal?
B: Bangsa berasal dari kelompok-kelompok yang bersatu dan membentuk negara.
A: Lalu, dari mana kelompok-kelompok itu berasal?
B: Kelompok-kelompok itu berasal dari komunitas kecil, dan komunitas kecil berasal dari keluarga-keluarga.
A: Kedengarannya masuk akal. Tapi dari mana keluarga-keluarga itu bermula? Bukankah dari individu? Kita adalah individu yang merupakan bagian dari negara. Artinya, sebagai individu, kita adalah bagian terpenting dari negara. Bukankah begitu?
B: Benar, kita sebagai individu adalah inti dari negara. Kita adalah bentuk terkecil dari sistem negara.
A: Tepat sekali. Jadi, kita adalah "negara dalam negara." begitulah kata Plato, sang filsuf. Setiap individu adalah negara. Kehendak dan kesadaran kita, melalui pikiran, adalah pemimpinnya: menjaga, merawat, mengontrol, dan memelihara tubuh kita agar selalu baik, mencapai kebaikan yang lebih tinggi. Bukankah begitu seharusnya sebuah negara?
B: Ya, negara memang bertanggung jawab menjaga, melindungi, dan mensejahterakan seluruh anggota masyarakatnya.
A: Seperti itulah seharusnya. Tapi sama halnya dengan tubuh, apakah negara akan merasa "sakit" jika bagian kecilnya sakit?
B: Seharusnya begitu. Ketika salah satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh akan merasakannya.
A: Tapi, bukankah rasa sakit itu soal perasaan? Bagaimana mungkin negara sebesar ini bisa merasa "sakit" secara keseluruhan jika bagian kecilnya menderita? Bukankah itu hanya karena empati? Maksudku, sebagai warga negara yang baik, seseorang merasa peduli.
B: Benar, sepertinya itu hanya empati, bentuk kepedulian. Maksudnya, itu bukan soal "rasa," melainkan soal penghormatan.
A: Ya, kamu benar. Tapi "negara dalam negara" individu kita itu adalah bentuk rasa, bukan empati, dan tidak mungkin hanya empati.
B: Barangkali, kita tidak bisa begitu saja menghubungkan negara dalam negara dengan individu kita.
A: Mungkin begitu. Tapi saya ingin menegaskan bahwa bentuk tertinggi dari rasa sakit adalah rasa kehilangan atas kepemilikan. Cobalah lihat: orang-orang mungkin bisa menahan rasa sakit tentang apa saja, tapi tidak dengan kehilangan. Kamu paham maksudku, kan?
B: Jadi maksudmu, negara akan benar-benar bisa merasa "sakit" atas kesengsaraan anggotanya hanya jika didorong oleh rasa memiliki?
A: Tepat sekali, itulah maksudku. Bagaimana menurutmu?
B: Ya, itu masuk akal.
A: Jadi, Bagaimana kita dapat menjaga keseimbangan dalam tubuh kita agar negara kita, sebagai entitas yang lebih besar, tetap sehat dan harmonis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI