A: Tepat sekali. Jadi, kita adalah "negara dalam negara." begitulah kata Plato, sang filsuf. Setiap individu adalah negara. Kehendak dan kesadaran kita, melalui pikiran, adalah pemimpinnya: menjaga, merawat, mengontrol, dan memelihara tubuh kita agar selalu baik, mencapai kebaikan yang lebih tinggi. Bukankah begitu seharusnya sebuah negara?
B: Ya, negara memang bertanggung jawab menjaga, melindungi, dan mensejahterakan seluruh anggota masyarakatnya.
A: Seperti itulah seharusnya. Tapi sama halnya dengan tubuh, apakah negara akan merasa "sakit" jika bagian kecilnya sakit?
B: Seharusnya begitu. Ketika salah satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh akan merasakannya.
A: Tapi, bukankah rasa sakit itu soal perasaan? Bagaimana mungkin negara sebesar ini bisa merasa "sakit" secara keseluruhan jika bagian kecilnya menderita? Bukankah itu hanya karena empati? Maksudku, sebagai warga negara yang baik, seseorang merasa peduli.
B: Benar, sepertinya itu hanya empati, bentuk kepedulian. Maksudnya, itu bukan soal "rasa," melainkan soal penghormatan.
A: Ya, kamu benar. Tapi "negara dalam negara" individu kita itu adalah bentuk rasa, bukan empati, dan tidak mungkin hanya empati.
B: Barangkali, kita tidak bisa begitu saja menghubungkan negara dalam negara dengan individu kita.
A: Mungkin begitu. Tapi saya ingin menegaskan bahwa bentuk tertinggi dari rasa sakit adalah rasa kehilangan atas kepemilikan. Cobalah lihat: orang-orang mungkin bisa menahan rasa sakit tentang apa saja, tapi tidak dengan kehilangan. Kamu paham maksudku, kan?
B: Jadi maksudmu, negara akan benar-benar bisa merasa "sakit" atas kesengsaraan anggotanya hanya jika didorong oleh rasa memiliki?
A: Tepat sekali, itulah maksudku. Bagaimana menurutmu?