Mohon tunggu...
OAP
OAP Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan

Mulai menyukai sejarah dan filsafat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Siapakah yang Benar? Sebuah Dialetika

6 Desember 2024   08:49 Diperbarui: 16 Desember 2024   13:36 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Judul: Siapakah yang Benar? Sebuah Dialektika

A: Apakah kamu tahu tentang kebenaran? Bagaimana kita bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah dalam kehidupan ini?

B: Saya rasa, saya cukup dewasa untuk itu. Saya bisa memilih dengan baik mana yang benar dan mana yang salah.

A: Saya ragu bahwa kedewasaan hanya berarti kematangan dalam memilih mana yang benar dan mana yang salah. Tidakkah kamu melihat bahwa orang dewasa lainnya mungkin memilih apa yang mereka anggap benar, tetapi menurut pandanganmu itu salah?

B: Iya, tapi bukankah itu berarti kebebasan memilih, sebagai seseorang yang telah dewasa?

A: Itu bisa dibenarkan, namun bisakah seseorang memilih hal yang nantinya membahayakan tidak hanya dirinya sendiri, tetapi juga orang lain? Misalnya, seseorang yang memilih untuk melakukan aktivitas atau mengonsumsi sesuatu yang dapat menyebabkan penyakit menular---bukankah itu berbahaya bagi kita semua?

B: Ya, kamu benar. Tapi siapa yang berhak menentukan kebenaran dan membatasi kebebasan orang lain? Bukankah kita semua setara dan bebas memilih?

A: Kamu benar, tetapi bukankah kita harus menyadari bahwa kita terbatas? Maksudku, kita tidak sepenuhnya memahami semua hal---seperti pelajaran yang kompleks di sekolah, misalnya.

B: Maksudmu, orang yang tidak memahami sebuah subjek pelajaran di sekolah adalah orang yang sangat terbatas?

A: Ya, aku kira begitu. Bagaimana bisa seseorang menilai dan menarik kesimpulan tentang sesuatu yang belum dipahami dengan baik?

B: Sepertinya saya mengerti maksudmu. Orang yang tidak memahami sesuatu bisa saja memberikan jawaban yang salah. Apakah ini berhubungan dengan kebenaran? Sepertinya cukup masuk akal.

A: Maksudku, bagaimana mungkin seseorang yang sudah dianggap dewasa dapat memilih kebenaran hanya berdasarkan pendapat pribadinya? Itu tampaknya cukup berisiko. Bukankah kamu setuju dengan itu?

B: Iya, saya rasa kamu benar. Seseorang tidak seharusnya memilih apa yang dianggap benar hanya berdasarkan pandangannya sendiri. Mungkin bahkan orang dewasa pun tidak seharusnya diberikan kebebasan mutlak untuk menentukan kebenaran.

A: Itu maksudku---bahwa kebenaran harus ditentukan oleh individu atau lembaga yang memiliki kemampuan dan kompetensi yang relevan untuk itu.

B: Tapi, kamu tahu tidak tentang perasaan dan emosi seseorang? Bukankah itu juga penting?

A: Maksudmu, haruskah kita menjaga perasaan dan emosi orang lain?

B: Ya, sebagai orang dewasa, kita perlu menjaga perasaan dan emosi orang lain, bukankah begitu?

A: Itu bisa dibenarkan. Namun, tidakkah kamu melihat bahwa perasaan dan emosi seseorang sering kali mengikuti keyakinannya? Atau bahkan keyakinan bisa dipengaruhi oleh perasaan dan emosi?

B: Kamu benar. Saya menyadari bahwa perasaan dan emosi ada pada siapa saja, bahkan pada hewan seperti mamalia dan primata. Tapi, bukankah itu wajar jika seseorang memiliki perasaan dan emosinya sendiri?

A: Kamu benar. Tapi bagaimana dengan orang yang sedang sedih atau berduka? Tidakkah mereka cenderung melihat segala sesuatu dengan cara yang suram? Sebaliknya, orang yang bahagia mungkin melihat segalanya dengan cara yang indah.

B: Apakah maksudmu bahwa perasaan dan emosi seseorang mempengaruhi pandangannya tentang apa yang benar?

A: Iya, itu maksudku. Perasaan dan emosi seseorang, bahkan yang sudah dewasa, bisa sangat berisiko menyebabkan bias dalam memilih apa yang dianggap benar.

B: Jadi, maksudmu kita tidak boleh mendasarkan kebenaran hanya pada perasaan dan emosi kita?

A: Itu maksudku. Bagaimana menurutmu?

B: Ya, kamu benar. Tapi, bagaimana kita meyakinkan orang lain bahwa perasaan dan emosinya bisa berisiko bias terhadap kebenaran?

A: Untuk meyakinkan orang lain, kita mungkin perlu menunjukkan bahwa perasaan dan emosi tidak selalu mencerminkan kenyataan yang objektif. Misalnya, perasaan takut bisa membuat seseorang menghindari hal yang sebenarnya aman, sementara rasa senang bisa menutupi potensi bahaya.

B: Tapi, apakah tidak ada situasi di mana perasaan kita justru membantu kita untuk merasakan kebenaran yang lebih dalam? Seperti intuisi, misalnya. Bukankah perasaan juga bisa menjadi bentuk pemahaman yang tidak terjelaskan dengan logika?

A: Itu benar. Intuisi dan perasaan memang kadang memberi petunjuk yang sulit dijelaskan dengan logika. Namun, kita harus berhati-hati. Ketika kita mengandalkan perasaan, kita bisa saja tersesat dalam hal-hal yang bersifat subjektif. Jadi, seharusnya kita menggabungkan rasionalitas dan emosi, bukan mengandalkan salah satunya saja.

B: Jadi, kamu ingin mengatakan bahwa kebenaran bukan hanya tentang apa yang kita rasakan, tapi juga tentang apa yang bisa kita buktikan secara rasional?

A: Tepat sekali. Kebenaran harus berdasar pada bukti yang objektif dan dapat diuji. Tapi, ini bukan berarti kita harus meniadakan perasaan sepenuhnya. Perasaan dan emosi tetap memiliki peran, terutama dalam memahami konteks manusiawi dan etis.

B: Jadi, apakah menurutmu kebenaran itu absolut, ataukah bisa berubah tergantung konteks dan perspektif?

A: Kebenaran yang bersifat absolut memang ada, terutama dalam hal-hal yang berbasis pada fakta yang tidak terbantahkan---misalnya hukum alam. Namun, dalam hal moral dan sosial, kebenaran bisa jadi lebih relatif. Itu tergantung pada budaya, nilai-nilai, dan pengalaman pribadi. Kita harus bijak dalam membedakan keduanya.

B: Jadi, meskipun kita memiliki kebebasan untuk memilih, kita juga perlu menerima batasan---batasan yang ditentukan oleh fakta objektif dan kebenaran moral yang lebih universal.

A: Betul. Kebebasan kita memang penting, tetapi kebebasan itu harus disertai dengan tanggung jawab. Kita tidak bisa memilih hanya berdasarkan apa yang kita inginkan, tetapi juga harus mempertimbangkan dampaknya bagi diri kita dan orang lain.

B: Saya mengerti sekarang. Kebenaran bukan hanya tentang kebebasan memilih, tapi juga tentang kesadaran akan keterbatasan kita, dan bagaimana memilih dengan bijaksana. Kita harus selalu mempertanyakan, apakah pilihan kita sesuai dengan kebenaran yang lebih besar, atau hanya berdasarkan perasaan sesaat.

A: Tepat. Sebagai individu dewasa, kita harus mampu menilai dengan rasional dan bijaksana. Kebenaran itu kompleks, dan kita harus selalu berusaha untuk mendekati pemahaman yang lebih utuh, tanpa terjebak dalam bias atau perasaan pribadi.

B: Jadi, kebenaran tidak hanya ditemukan dalam diri kita sendiri, tetapi juga dalam hubungan kita dengan dunia luar---dalam logika, bukti, dan dampak sosial yang lebih luas.

A: Ya, dan itu adalah perjalanan yang terus berkembang. Tidak ada yang bisa mengklaim memiliki kebenaran mutlak. Kita harus terus belajar, menguji, dan beradaptasi dengan pemahaman baru yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun