Perkembangan teknologi informasi di era revolusi industri 4.0 mendorong dunia pendidikan untuk turut berevolusi. Namun, mungkin banyak orang yang belum paham apa itu revolusi industri 4.0.
Revolusi industri 4.0 yang terjadi saat ini yaitu ketika di dalam dunia usaha banyak sekali terjadi disrupsi. Â Dahulu kita berpikir tidak akan mungkin apabila perusahaan taksi tidak punya taksi. Hotel tapi tidak memiliki bangunan hotel? Itu tidak mungkin terjadi. Tapi sekarang itulah yang terlihat di sekitar kita. Grab tidak punya taksi, uber tidak punya taksi, tidak punya sopir tetapi jadi perusahaan taksi terbesar di dunia.Â
Oleh karena itu, kita sekarang membutuhkan SDM yang memiliki daya inovasi tinggi, punya kreatifitas tinggi, memiliki cara pikir yang selalu mencari solusi baru atau diistilahkan dengan computational thinking atau ada pula istilah higher-order thinking skills (HOTS). Itulah SDM yang kita butuhkan di abad 21 dalam memasuki era industri 4.0.
Kita membutuhkan suatu sistem yang bisa menyiapkan generasi muda kita untuk bisa hidup berkompetisi di era revolusi industri 4.0. Ini adalah tantangan yang dihadapi oleh perguruan tinggi kita. Dan yang menarik adalah adanya suatu riset di Amerika yang mengatakan bahwa 65% dari mereka yang bersekolah di hari ini, nantinya akan bekerja di pekerjaan yang belum tercipta.
Kemenristekdikti menyikapi perubahan-perubahan ini dengan berbasis pada digitalisasi untuk seluruh aspek perguruan tinggi. Perubahan harus dilakukan secara cepat sebab revolusi industri sendiri bergerak sangat cepat dan semuanya berbasis pada digital. Langkah pertama yang diminta pada perguruan tinggi adalah mendigitalkan semua mata kuliah. Kemudian memberikan blended learning, campur antara tatap muka dan web-based atau e-learning. Kemudian, jika semua sudah siap baik dari sistem dan proses pembelajaran, maka dapat dilakukan pembelajaran jarak jauh tanpa tatap muka.
Pemerintah juga mencanangkan untuk mendirikan Cyber Institute of Indonesia sebagai pengawas mutu bagi cyber university yang ada. Sehingga, bisa saja seorang mahasiswa dari suatu universitas untuk shopping mata kuliah dari universitas lain apabila sudah lulus standar mutu.
Adanya sistem pendidikan jarak jauh juga nantinya akan dapat meningkatkan angka partisipasi kasar Indonesia.
Idealnya, apa yang harus kita lakukan dalam jangka cepat untuk merealisasikan era 4.0 dalam dunia pendidikan?
Dalam pendidikan kita mengenal adanya 3 tahap yaitu input, proses, output. Kalau bicara dunia sekarang yang digital, kita lihat sepertinya tidak ada pekerjaan di dunia ini yang tidak berkaitan dengan teknologi sama sekali. Kita cari dimana-mana pasti setiap pekerjaan ada hubungannya dengan teknologi. Petani, nelayan, semuanya berkenaan dengan teknologi. Nah, kalau lembaga pendidikan tidak menggunakan digital tentu muncul tanda tanya. Bisa jadi, input dan output-nya sama!
Maka itu yang harus kita lihat. Jadi, perlu adanya upgrade dari sistem manual ke digital. Tetapi perlu diingat pula bahwa untuk masuk ke dunia digital, terdapat tiga framework yang dapat disingkat dengan 3I (infrastruktur, infostruktur, dan infokultur)
- Infrastruktur adalah yang paling mudah diusahakan. Seperti membeli komputer, dsb. Anggaran pendidikan dari APBN harusnya cukup untuk mempersiapkan ini. Selain itu jangan lupa, pemerintah harus memperbaiki kualitas jaringan internet!
- Infostruktur adalah bagaimana informasi itu terstruktur. Informasi yang tersebar ada yang benar ada pula yang hoaks. Nah, disini kita harus memikirkan bagaimana cara membuat informasi ini terstruktur. Jadi tidak boleh sembarangan buat e-learning dengan mengambil video dari Youtube!
- Infokultur. Informasi di dunia digital sangat berbeda kulturnya informasi pada zaman dulu. Kalau dahulu kebanyakan dosen memberikan informasi secara langsung karena mahasiswa tidak punya informasi. Buku cuma ada satu dan yang memegang adalah dosen. Zaman ini, apakah masih ditemui dosen yang cara mengajarnya seperti itu? Inilah tantangannya, sistem pendidikan harus memiliki tenaga pengajar atau dosen yang pikirannya tidak tua! Jadi nanti hanya dosen-dosen berkualitas yang dibutuhkan. Tidak hanya untuk memindahkan informasi dari buku ke papan tulis. Infokultur ini tidak hanya dari dosen, mahasiswa juga harus berpikir maju.
Hal lain yang lebih urgent adalah membuat dan memperbaiki grand design atau blue print atau road map pendidikan. Jangan hanya berpaku pada angka partisipasi sekolah (APS) saja. Misal APS Indonesia tinggi setara Singapura, apakah seluruhnya bisa kerja nantinya?  Kita harus berpikir jauh, kira-kira industri apa yang mau dan akan dikembangkan di Indonesia untuk menyerap angkatan kerja.
Skor PISA Indonesia selalu rendah, tetapi anggaran pendidikan tinggi. Itulah pentingnya untuk membuat grand design. Sejak rakyat Indonesia lahir sampai memasuki usia kerja, pikirkan industri apa yang harus disiapkan. Jika blue print tidak ada maka revolusi pendidikan pasti sulit. Ibarat membangun kamar tidur tapi tidak ada blue print, maka bisa-bisa yang dibangun adalah kamar mandi. Mau bangun taman jadinya kolam.
Contoh : misal Indonesia mau membangun industri maritim. Berapa tenaga kerja yang dibutuhkan? Bidang apa saja?. Hal tersebut penting dirancang sebab tidak pas jika orang lulusan FKIP disuruh kerja di maritim. Kita bisa mencontoh negara Tiongkok, dimana mereka merubah perguruan tinggi menjadi politeknik. Mahasiswa langsung praktikum.
Pelajaran TIK yang dihapus dari jenjang pendidikan SD, SMP juga merupakan suatu hal yang dapat dikaji ulang. Memang benar bahwa pelajaran TIK tidak perlu jika hanya sekadar mengajarkan cara menghidupkan komputer, memakai aplikasi Office yang sebenarnya siswa sendiri sudah tahu dan lebih pro. Namun, yang perlu diajarkan saat ini adalah bagaimana memanfaatkan gadget untuk produktivitas, untuk belajar, untuk mengembangkan diri. Ketika tidak ada yang mengajarkan hal tersebut ketika pra-kuliah, jangan heran jika di perkuliahan para mahasiswa tidak siap secara kultur.
Adanya cyber university nantinya akan membawa keuntungan, diantaranya memangkas dana pendidikan. Dengan adanya cyber university, akan terbentuk pendidikan yang MASIF sehingga akan berlaku teori ekonomi dimana semakin banyak semakin murah. Memang di awal dibutuhkan dana yang besar untuk membangun pusat data, melatih dosen, membuat e-learning, dsb. Tetapi, ketika sudah tercipta selanjutnya menjadi mudah.Â
Kita bisa mencontoh cyber university dari banyak negara di dunia. Indonesia saja yang masih jauh tertinggal.
DAN, eitts... satu hal yang harus diawasi yaitu jangan sampai cyber university menjadi ajang baru untuk jual beli ijazah. Harus ada quality insurance!. Dan, input serta output harus berbeda!
Referensi : Beritasatu (Bersiap Hadapi Digital Cyber University)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H