Mohon tunggu...
Nurul fatimah
Nurul fatimah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Dengan menulis kita bisa mengabadikan semua waktu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mahar dalam Perkawinan Islam

31 Januari 2021   14:00 Diperbarui: 31 Januari 2021   14:05 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Ketentuan Mahar Dalam Islam

Mengenai kadar mahar ulama mazhab telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batasan tertinggi. Ulama mazhab mengambil dalil firman Allah subhanahu wata'ala Q.S An-Nisa (4) ayat 20:

 

Artinya:

Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata.

Kemudian ulama mazhab berbeda pendapat dengan rendahnya mahar tersebut. Syafi'i, Hambali, dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimalnya. Mereka mengambil dalil Hadits Rasulullah SAW.

Kawinlah engkau walupun dengan maskawin cincin dari besi.  (HR. Al-Bukhari). Hanafi berpendapat bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu akad yang dilakukan dengan mahar kurang dari itu, maka akad tetap sah, dan wajib membayar sepuluh dirham. Maliki mengatakan jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Kalau akad dilakukan dengan mahar kurang dari hal tersebut, kemudian terjadi percampuran, maka suami harus membayar tiga dirham. Tetapi apabila belum bercampur maka suami boleh memilih antara membayar tiga dirham (dengan melanjutkan perkawinan) atau memfasakh akad, lalu membayar mahar musamma.

Adapun faktor penyebab perbedaan pendapat tentang kadar (ketentuan mahar) di kalangan ulama madzhab ada dua macam sebagaimana disebutkan oleh Ibn Rusyd, yaitu:[1]

  • Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuannya. Demikian itu kalau ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki  dapat memiliki jasa wanita itu selamanya, maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka mahar itu mirip dengan ibadah.
  • Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mafhum hadits yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.

Penetapan Mahar dalam Islam

Penetapan Mahar dalam Islam Penetapan mahar adalah salah satu dari adat istiadat, dengan demikian hukum Islam mengatur hal tersebut dalam 'urf (adat   istiadat). Kata 'urf secara etimologi adalah sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan dalam Halomoan 'urf  berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan maupun perkataan.

  1. Urf  baik berupa perbuatan maupun berupa perkataan, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, terbagi kepada dua macam
  2. Al-'Urf al-'Amm (adat kebiasaan umum), yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri di suatu masa.
  3. Al-'Urf al-Khas (adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat pada masyarakat atau negeri tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun