Dasar Hukum Mahar
Syaikhul islam Rahimahumullahu berkata: "Termasuk sunnah, meringan mas kawin dan mas kawin itu supaya tidak melebihi mas kawin istri-istri nabi shallahu'alaihi wassalam yang artinya: "Mas kawin yang baik adalah mas kawin yang mudah".[1]
Dalam hadits Nabi shallahu alaihi wassallam bersabda, artinya: Padukanlah wanita-wanita itu pada para lelaki, dan janganlah berlebihan dalam maskawin.
Diriwayatkan dari Tirmizi dalam sebuah hadits shahih, Ia berkata: Umar Ibn Khattab pernah berkhutbah di hadapan orang banyak yang isinya: "Ketahuilah! Janganlah kamu berlebihan dalam memberikan maskawin kepada wanita-wanita, karena kalaupun maskawin itu adalah sebagai penghormatan di dunia atau sebagai ketaqwaan disisi Allah subhanahu wa ta'ala, maka orang yang paling mulia di antara kamu adalah Nabi shallahu alaihi wassalam memberikan maskawin kepada istri-istrinya, dan di antara putri-putrinya tidak pernah diberi maskawin lebih dari dua belas Uqiyyah.
Dimakruhkan bagi laki-laki untuk memberi maskawin kepada istri-istrinya suatu maskawin yang pembayarannya menyusahkannya, atau sulit untuk dilunasi jika itu berupa pinjaman. Dalam pelaksanaan pembayaran  mahar ini juga tidak bisa dipaksakan dengan kekerasan, maka ketika tidak mampu untuk membayar maka dilakukan perundingan. Seperti dalam Q.S An-Nisa(4) ayat 4
      Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Ayat ini memberikan hak yang  jelas kepada wanita dan hak keperdataan mengenai maskawinnya. Juga menginformasikan realitas yang terjadi dalam masyarakat jahiliyah, dimana hak itu dirampas dengan berbagai macam bentuknya. Misalnya pemegang hak maskawin itu di tangan wali dan ia berhak mengambilnya untuk dirinya, seakan-akan wanita itu objek jual beli sedangkan si wali sebagai pemiliknya. Islam mewajibkan maskawin dan memastikannya, untuk dimiliki si wanita sebagai kewajiban dari lelaki kepadanya yang tidak boleh ditentang.
Islam mewajibkan si suami memberikan maskawin sebagai nihlah (pemberian yang khusus kepada si wanita) dan harus dengan hati yang tulus dan lapang dada, sebagaimana memberikan hibah dan pemberian (Abd. Rahman Ghazaly, 2006: 45). Apabila kemudian si istri merelakan maskawinnya itu sebahagian atau seluruhnya kepada suaminya, maka si istri itu mempunyai hak penuh untuk melakukannya dengan senang hati dan rela hati, dan si suami boleh menerima dan memakan apa yang diberikan istri dengan senang hati. Karena hubungan antara suami istri seharusnya didasarkan pada  kerelaan yang utuh, kebebasan yang mutlak, kelapangan dada, dan kasih sayang yang tidak terluka dari kedua belah pihak.
Dengan memperlakukan sistem seperti ini, Islam hendak menjauhkan sisa-sisa sistem jahiliyah mengenai wanita dan maskawinnya, hak-haknya terhadap dirinya dan harta bendanya, kehormatan dan kedudukannya. Diberikan keleluasaan, saling merelakan dan kasih sayang untuk mewarnai kehidupan bersama dan untuk menyegarkan suasana kehidupannya.
Syarat-Syarat Mahar