Latar Belakang
Dapat dipahami bahwa Allah subhanahu wata'ala memberikan rahmat-Nya dengan perkawinan agar manusia dapat meneruskan keturunan dan menyalurkan kebutuhan biologisnya secara baik dan benar dalam rangka pengabdian diri kepada Allah subhanahu wata'ala. Selain itu perkawinan juga bertujuan untuk memperoleh kedamaian, kebahagiaan, dan ikatan kekerabatan di antara suami istri.
Dalam pelaksanaan perkawinan Islam mahar merupakan prioritas utama sekalipun mahar tidak termasuk dalam kategori rukun nikah. Maskawin disebut juga dengan mahar, sadag, nihlah dan faridah. Maskawin atau mahar adalah merupakan hak calon istri, banyak sedikitnya maskawin atau mahar tersebut tergantung pada kehendak atau kemauaan calon istri itu sendiri, apabila dimaafkan saja oleh sang calon istri maka hilanglah kewajiban suami untuk memberikannya.Â
Maskawin atau mahar tersebut boleh dimanfaatkan suami atas izin istri. Di dalam buku yang lain laki harus memberikan mahar yang disukainya. Jika si istri berbaik hati dengan memberikan mahar atau memberikan sebahagiannya, setelah mahar itu disebutkan kuantitasnya, maka suami dapat memakannya sebagai makanan yang halal dan sebagaimana firman Allah subhabahu wata'ala pada Q.S An-Nisa (4) ayat 4:
Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Pengertian Mahar
Menurut Ghazali dalam Kohar Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dll).
Kata "mahar" berasal dari bahasa Arab yang termasuk katra benda bentuk abstrak  atau masdar, yakni "Mahram" atau kata kerja, yakni fi'il dari "mahara-yamaharumaharan". Lalu, dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni al-mahr, dan kini sudah di Indonesiakan dengan kata yang sama, yakni mahar atau karena kebiasaan pembayaran mahar dengan mas, mahar diidentikkan dengan maskawin.[1]
Di kalangan fuqaha, di samping perkataan "mahar", juga digunakan istilah lainnya, yakni shadaqah, nihlah, dan faridhah yang maksudnya adalah mahar. Dengan pengertian etimologi tersebut, istilah mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang hukumnya wajib, tetapi tidak ditentukan bentuk dari jenisnya, besar dan kecilnya dalam al-Quran merupakan al-Hadits.[2]
Mahar hanya diberikan calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lain atau siapapun, walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak akan boleh mengambilnya, bahkan suaminya sendiripun tidak boleh mengambilnya kecuali atas izin istrinya. Akan tetapi bila dibolehkan istrinya tidak ada halangan baginya untuk memakainya. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran An-Nisa(4) ayat 4.[3]