Setiap sudut kota Solo terasa khas. Lenjongan dan es dawet telasih Pasar Gede Hardjonagoro salah satunya. Kudapan yang tidak hanya menyapa organ pencernaan. Sekaligus menghangatkan rasa. Mari nikmati narasinya.
Lenjongan warisan budaya kuliner Nusantara
Kawasan Pasar Gede Hardjonagoro Solo sangat kaya kisah dan warna. Melebihi hiruk pikuk suasana pasar. Tersemat ragam tradisi budaya penyertanya.
Kali ini simbok menyematkan rasa saba kembali ke pasar. Memasuki pasar dari pintu gerbang utamanya. Berdampingan dengan Kelenteng Tien Kok Sie, berhadapan dengan Tugu Jam Pasar Gede.
Bagi pengunjung penyuka keteraturan sistematis dapat menyimak peta tata letak blok pun los yang tertera di tembok dekat pintu masuk. Penikmat pasar model spontan dapat blusukan antar los dengan aneka kejutan. Mak jegagik tetiba masuk los jamu ataupun lenjongan.
Ini dia lenjongan yang ngangeni. Kosakata lenjongan merujuk pada himpunan sekumpulan penganan. Melongok pada pengertian beberapa sumber tertulis penganan berbahan dasar singkong. Kening simbok berkerut lah ada tiwul, grontol pun klepon dan rombongannya.
Baiklah ini pemahaman simbok. Lenjongan adalah himpunan penganan tradisional berbahan dasar lokal. Jajan pasar kosakata lainnya. Ada yang berbahan dasar singkong semisal tiwul, gathot. Berbahan dasar jagung yaitu grontol. Lainnya keluarga ketan mulai ketan hitam, lepet, jadah dkk.
Lenjongan menempati los yang bertebar di lingkungan Pasar Gede. Masing-masing gerai menarik pengunjung dan memiliki penggemar fanatiknya. Kadang dibarengi dengan jualan gendar pecel dan jajanan khas Solo yaitu brambang asem.
Tata penyajian lenjongan selalu memikat. Aneka warna cemerlang. Hijaunya klepon, merah muda si cenil, hitam manis ketan hitam. Lah dari bentuk geometrinya juga beragam ada membola kecil klepon, silinder lepet ketan, jajaran genjang kue lapis.
Belum lagi kisah penyertanya dalam ritual tradisi. Lenjongan ditata dalam tampah anyaman bambu dialasi daun pisang. Digunakan sebagai uba rampe penyerta tradisi kenduri acara suka pun duka.
Keberadaan lenjongan sama tuanya dengan sejarah Pasar Gede. Lahir dari budaya keragaman pangan lokal dengan citarasa tradisional. Tidak lekang oleh waktu, sensasi dan kenangannya diwariskan antar generasi.
Simbok penyuka cagar merunutnya. Nah lenjongan tertera dalam dokumen warisan budaya takbenda tingkat nasional. Diajukan pada tahun 2020 oleh Provinsi Jawa Tengah dengan no registrasi 2020009987. Domain kemahiran dan kerajinan tradisional. Belum mendapatkan data penetapannya.
Nah menikmati lenjongan bukan hanya memanjakan organ pencernaan dari pencecap hingga penyerapan gizi. Ada warna warisan budaya. Kinerja nyata kreativitas leluhur mengolah hasil bumi menjadi kudapan berseni. Sendi dasar kedaulatan pangan.
Terpatri dalam memori, seorang genduk kecil mengikuti langkah ibunya di Pasar Gede. Mendapat kesempatan mencicip semangkok kecil es dawet telasih. Segar di tengah suasana panasnya pasar.
Memori yang secara berkala diperbaharui dengan berkunjung dan menyantapnya kembali. Tak peduli usia, memori selalu datang menghampiri. Nah untuk es dawet telasih tidak ada los khusus. Tersebar di banyak tempat mulai dari pintu masuk hingga ke tengah pasar.
Mengikuti langkah kaki mengamati hampir setiap tempat penjual dipadati pembeli. Sebagian duduk mengitari penjual yang lain pesan bungkus. Simbok menelusuri antar penjual. Berpretensi soal rasa dan harga akan tidak berbeda jauh. Berharap ada standarisasi, pembeda menjadi pencirinya.
Nah ini dia kios tempat melabuhkan kenangan mengikuti ibu ke Pasar Gede. Kios dawet ibu Dermi. Ooh pembeli berderet antri. Ada 2 jalur bagi yang minum di tempat disediakan dingklik panjang muat 3 orang dan 2 kursi plastik tunggal.
Duduk menanti layanan semangkuk racikan sumsum, cendol, biji telasih, ketan hitam, tape, gula merah pun santan plus es batu. Segar dingin. Tersedia durian bagi peminat khusus.
Perjalanan panjang pebisnis es dawet telasih sejak berdirinya Pasar Gede. Kios ini dikelola oleh keturunan ketiga dari penjual awalnya. Mata dan telinga menangkap perputaran uang dalam bisnis es dawet.
Semangkuknya 14K tanpa durian. Lah kalau pesan 20 cup apalagi nambah beberapa pernik penganan. Beberapa lembar merah seratusan ribu rupiah berpindah tangan. Mengikuti perkembangan metode pembayaran, jepret ponsel transaksi berlangsung.
Lambung tengah sudah diisi energi, pemantik memori suasana saba pasar. Lenjongan dan es dawet telasih memasok kenangan dan cerita. Simbok mengulangi lagi los jamu racikan. Empon-empon, simplisia basah kering menguarkan aroma khas jamu. Lain kali disajikan tersendiri.
Keluar dari pasar. Lingkungan sekitar berganti dandanan dari suasana Natal Tahun Baru bersiap menyambut acara Imlek. Denyut nadi pasar selalu baru. Kadang tenang diselingi riuh. Terima kasih lenjongan dan es dawet telasih pengikat rasa keterdekatan Kota Solo.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI