Tradisi grebeg ageng keraton dalam rangka Iduladha. Pawai gunungan dilanjut rebutan ngalap berkah. Tradisi budaya simbolisasi peran pemimpin sebagai kepanjangan tangan pemeliharaan Illahi. Mari menyigi filosofi kanca gladak pengusung gunungan grebeg.
Masih seputar suasana Iduladha 1444H di Yogyakarta. Rabu 28 malam pk 20.12, penikmat suasana santai di Jl Malioboro disuguhi pawai. Kelompok kecil ada 2 tim dengan anggota lintas generasi, ibu bapak, tua muda hingga kanak-kanak. Ada petugas membawa lembar kitab berukuran sangat besar.
Beruntung mengikuti kelanjutan agenda hari berikutnya meski 'meminjam mata' adik. Menyimak tradisi, memaknai filosofi yang disematkan oleh tradisi. Kini menuliskannya sebagai pengingat diri penunda lupa.
Grebeg dan gunungan
Pagi pk 06 adik berangkat. Bertugas sebagai bagian perwakilan RT untuk mengusung gunungan. Kumpulan petugas dari RT menjadi barisan desa. Terlihat ada rotasi petugas antar waktu. Sebagai duta desa di wilayah DIY selaku abdi dalem usung gunungan.
Ada beberapa grebeg di Yogyakarta. Grebeg Syawal jelang puasa, Grebeg Iduladha disebut grebeg besar atau grebeg ageng dan grebeg Maulud Nabi yang dikenal sebagai muludan atau sekatenan. Kegiatan religi yang ditopang oleh budaya setempat.
Kosakata grebeg aneka telaah. Ada yang gumrebeg suara angin besar yang memiliki filosofi sifat riuh, ribut dan ramai. Ada pengiring dari tindak langkah punggawa pembesar kraton.
Kekhasan acara adalah parade gunungan grebeg. Sebagai wujud syukur atas berkat Tuhan pada negeri. Kemakmuran, ketenteraman yang diyakini bersumber dari curahan berkat. Berkat ini dilambangkan dengan gunungan dengan beberapa pakem. Salah satunya gunungan hasil bumi.
Berkat kesejahteraan yang diteruskan raja kepada rakyat. Ditengarai ada beberapa titik awal dan finish perarakan gunungan. Gunungan setelah diarak akan diletakkan dan mulailah rebutan isi gunungan. Ngalap berkah, memohon berkat.