Sahabat pembaca Kompasiana mengenal penganan tradisional kue lapis beras? Yup biasanya tampil ceria minimal dua warna. Apa nih yang paling berkesan? Ya menikmati dengan cara mengelupasnya per lapisan. Sejumput filosofi dari kue lapis beras disajikan.
Kue lapis beras dalam memori
Menyoal kue lapis beras membawa memori masa kanak-kanak. Menunggu ibu pulang dari pasar. Berharap oleh-oleh kue lapis beras berbungkus daun pisang. Mata membelalak melihat keceriaan tampilan. Ada kalanya kombinasi putih merah muda, putih hijau muda, putih merah muda hijau, beruntung ada seleret lapisan warna cokelat.
Sajian irisan juga khas yaitu model jajaran genjang dengan ketebalan tertentu. Pedagang jajan pasar menyajikannya pada baki lalu mengiris mengikuti pola ini. Sewaktu guru SD mengenalkan bangun jajaran genjang, asosiasi langsung melekat pada sekerat kue lapis beras.
Teksturnya sangat lembut paduan tepung beras dengan santan encer. Senada dengan tekstur kue nagasari dengan isian pisang raja. Suapan kue lapis masuk mulut, cukup diemut sensasi manis gurih lumer sebelum menuju ke ruang tengah alias lambung.
Menyoal warna, belajar dari warna makanan bahan alami. Hijau dari perasan daun suji, merah muda dari frambos, cokelat dari bubuk kakao. Kemudian mengenal pewarna makanan yang disebut dengan teres.
Apakah kue lapis beras hanya ada di masa lalu dan punah bersama laju waktu? Tidaklah. Kue lapis beras tetap bertahan hingga kini. Mengalami sedikit perubahan sajian.
Minimal dari paduan bahan, bukan hanya tepung beras namun berpadu dengan tepung sagu untuk memperbaiki tekstur. Lebih teguh sedikit kenyal tanpa mupyur mudah hancur. Bangun sajian juga menjadi persegi pipih. Setiap kerat dikemas bijian tampil menggoda.
Sempat bingung kue lapis beras ada banyak varian nama antar daerah. Semisal kue Pepe khas Betawi. Telaah lanjut, kue Pepe adalah kue lapis, dengan bahan utama tepung sagu. Tekstur lebih kenyal dan menarik dikelupas antar lapisan saat menyantapnya.
Filosofi Kue Lapis Beras
Menyantap sekerat kue lapis beras tidak hanya memanjakan faal pencernaan. Bermula dengan goyang lidah beradu gigi. Mak legender memasuki kerongkongan menuju lambung. Meninggalkan jejak rasa menelusuri filosifi sederhananya.
1. Kue lapis beras berakar dari materi dan budaya lokal. Masyarakat sangat akrab dengan budaya bubur ataupun jenang merah putih. Perubahan minimal dengan menambah kekentalan sehingga tidak lagi berupa bubur namun lapisan kue yang lembut.
2. Kue lapis beras buah dari proses kesabaran. Mari bayangkan bagaimana pengolah kue lapis berkreasi. Setakaran adonan alias jladren dituang pada loyang, dikukus hingga memadat. Ditambahkan setakaran adonan lagi diatasnya. Berulang hingga ketebalan yang diinginkan. Proses yang membutuhkan kesabaran, ketelitian, kombinasi perasaan dan logika.
3. Kue lapis beras adalah parade kelembutan, gurih pun manis. Membuhul setiap lapis dengan teguh. Bukankah itu juga dasar dari kerukunan bersama? Setiap komponen diikat dengan teguh melalui paduan kelembutan dan penerimaan yang gurih manis.
4. Kue lapis beras adalah penganan tangguh dan adaptif terhadap perubahan. Tidak berkeras hati tampil dengan pakem bakunya. Mengikuti perubahan tanpa kehilangan jati diri kue lapis. Membuatnya bertahan antar masa.
Bahkan kini sering tampil aneka bentuk, dicetak secara satuan, lah mirip cupcake ya. Warna kue juga mengikuti perbahan zaman. Kini hadir varian warna lain semisal ungu dengan paduan ubi ungu.
5. Menikmati sekerat kue lapis beras mengingat proses panjang dan harmoni yang diracik. Sayang kalau digigit dikunyah dan ditelan secara cepat. Penikmat cenderung memakannya dengan pelan sabar. Mengelupas lapisan demi lapisan menyesap filosofi yang teracik dalam kue lapis beras.
Sepotong kue lapis beras mengingatkan filosofi kesabaran untuk menghasilkan harmoni kesatuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H