Menyantap sekerat kue lapis beras tidak hanya memanjakan faal pencernaan. Bermula dengan goyang lidah beradu gigi. Mak legender memasuki kerongkongan menuju lambung. Meninggalkan jejak rasa menelusuri filosifi sederhananya.
1. Kue lapis beras berakar dari materi dan budaya lokal. Masyarakat sangat akrab dengan budaya bubur ataupun jenang merah putih. Perubahan minimal dengan menambah kekentalan sehingga tidak lagi berupa bubur namun lapisan kue yang lembut.
2. Kue lapis beras buah dari proses kesabaran. Mari bayangkan bagaimana pengolah kue lapis berkreasi. Setakaran adonan alias jladren dituang pada loyang, dikukus hingga memadat. Ditambahkan setakaran adonan lagi diatasnya. Berulang hingga ketebalan yang diinginkan. Proses yang membutuhkan kesabaran, ketelitian, kombinasi perasaan dan logika.
3. Kue lapis beras adalah parade kelembutan, gurih pun manis. Membuhul setiap lapis dengan teguh. Bukankah itu juga dasar dari kerukunan bersama? Setiap komponen diikat dengan teguh melalui paduan kelembutan dan penerimaan yang gurih manis.
4. Kue lapis beras adalah penganan tangguh dan adaptif terhadap perubahan. Tidak berkeras hati tampil dengan pakem bakunya. Mengikuti perubahan tanpa kehilangan jati diri kue lapis. Membuatnya bertahan antar masa.
Bahkan kini sering tampil aneka bentuk, dicetak secara satuan, lah mirip cupcake ya. Warna kue juga mengikuti perbahan zaman. Kini hadir varian warna lain semisal ungu dengan paduan ubi ungu.
5. Menikmati sekerat kue lapis beras mengingat proses panjang dan harmoni yang diracik. Sayang kalau digigit dikunyah dan ditelan secara cepat. Penikmat cenderung memakannya dengan pelan sabar. Mengelupas lapisan demi lapisan menyesap filosofi yang teracik dalam kue lapis beras.
Sepotong kue lapis beras mengingatkan filosofi kesabaran untuk menghasilkan harmoni kesatuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H