Merencanakan menanak nasi jagung, ibu merendam bulir jagung semalaman. Paginya ditiriskan dan siap untuk dikecrok tumbuk kasar. Terpisah menjadi dedak katul jagung dan bulir pecah. Beberapa penanak memadukan bulir pecah dengan beras dan menanak, mirip paduan mixed grain.
Bila diinginkan dapat dilanjutkan dengan penepungan. Bagaimana dengan limbah dedak dan katul jagung. Umumnya menjadi bagian dari ternak unggas yang juga umum dimiliki warga. Eh adakalanya ibu memasaknya menjadi penganan loh namanya jenjet jagung.
Iseng mengetikkan kata jenjet jagung di mesin peramban. Ooh masih muncul, bahkan ada sajian youtubenya. Bagaimana membumbui dan mengolah adonan berbahan katul jagung dengan dikukus. Variasinya kami ingat dengan cara memanggangnya di kereweng atau wajan gerabah tanah liat.
Sejak dari lahan, budaya masyarakat tidak membiarkan limbah tanaman jagung melenggang. Begitupun dari kawasan dapur. Klobot kering, janggel hingga katul mendapatkan penanganan. Zero waste alias nol limbah adalah budaya masyarakat. Termasuk penanganan limbah dapur.
Kini dengan kemajuan teknologi hadir mesin pemipil jagung juga penepungnya. Nilai dasar pengelolaan limbah tetap berlaku. Kalau kita menengok penanganan panen jagung di negara lain. Mekanisasi mulai dari lahan. Sejak pemanenan, pengupasan hingga pemipilan.
Panenan bukan lagi berupa pikulan buah jagung namun sudah dalam bentuk bulir biji. Semua limbah batang, klobot hingga janggel mengumpul di lahan siap untuk alih rupa. Penanganan limbah terpadu.
Wasana kata
Menyantap nasi jagung urap bunga turi membawa kembara pikiran melompat ke zero waste. Pendekatan pembiasaan aspek kasanah budaya untuk pengelolaan limbah dapur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H