Pesan angkasa ditangkap, pencurahan hujan dalam masa singkat diikuti musim kemarau yang cukup panjang. Lahir budaya bagaimana menyimpan air langsung di ladang. Memanen air hujan untuk pengairan di musim kemarau.
Petani menyiasatinya dengan pembangunan sumur di ladang sebagai penampungan air hujan juga air tanah. Langkah antisipasi dan memanfaatkannya untuk menyiram tanaman di musim kemarau.
Tebaran sumur dengan perigi bibir berupa buis gorong-gorong beton berdiameter dan kedalaman tertentu. Sumur dengan tingkat keamanan yang baik dan tampilan rapi praktis. Beberapa lahan memiliki sumur pompa sehingga tidak mengurangi areal tanam.
Wujud sumur ini sangat berbeda dengan era sebelumnya. Perigi berupa anyaman bambu yang umur gunanya lebih singkat. Apalagi galian sumur tanpa batas pengaman. Hanya tersedia tali dan timba.
Sumur di ladang. Mengingatkan pada peribahasa. Bila ada sumur di ladang. Boleh kita menumpang mandi. Bila ada umurku panjang. Boleh kita berjumpa lagi.
Pepatah yang tersusun indah. Penataan guru lagu alias kesamaan bunyi pada akhir kata. Memuat harapan dan doa dikemas lirik apik. Ternyata pepatah tersebut mengedepankan hasil amatan di alam, bagian dari alam takambang jadikan guru.
Sumur di ladang bukan hanya peribahasa penguat harapan dan doa. Namun juga wujud syukur manusia menyambut berkat hujan. Menyikapi musim kemarau dengan upaya bijak.
Semakin menyadari bahwa sumur di ladang adalah bagian dari teknologi tepat guna. Kemarau dan sumur di ladang. Dibangun dari pengetahuan dan kearifan lokal pendukung kedaulatan pangan bangsa. Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H