Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kontekstualisasi Kearifan Lokal Tapa Pepe Jemur dan Kehidupan Bernegara

6 Agustus 2021   15:57 Diperbarui: 7 Agustus 2021   05:14 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ritual tapa pepe (Foto: JawaPos)

Tapa pepe atau tapa jemur bagian dari ritual berbasis kearifan lokal. Mari mengulik kontekstualisasi ritual laku tapa pepe atau tapa jemur dalam situasi kekinian. 

Laku Tapa Pepe

Sejarah kehidupan bernegara dan bermasyarakat mencatat dinamika aduan protes. Tidak selamanya pimpinan dan pemerintahan senantiasa memenuhi harapan semua lapisan masyarakat. Aneka saluran dan cara melakukan protes pun usulan perbaikan.

Tentunya sesuai dengan kelokalan waktu dan tempat. Alias sesuai dengan tata budaya dan perkembangan zaman. Salah satu yang menggelitik untuk disimak adalah ritual atau laku tapa pepe. Lafal pepe adalah e taling seperti pada kata sate dan tempe.

Tapa pepe berasal dari kosa kata bahasa Jawa yang senada dengan tapa jemur. Kegiatan duduk bersila berjemur di bawah sinar matahari. Dilakukan sebagai bentuk unjuk rasa atau penyampaian pendapat.

Tapa pepe dilakukan oleh rakyat ketika penguasa atau pemerintah membuat suatu kebijakan yang tidak adil atau tidak disukai oleh rakyat. Jadi ada prakondisi yang melatarbelakangi tindakan. Bukan protes untuk keperluan personal namun komunal.

Kearifan lokal warga, upaya rakyat kecil kawula alit menyampaikan aspirasi kepada pimpinan. Warisan budaya kerajaan Mataram baik Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta. Upaya mencari keadilan melalui aduan yang diperkenan oleh Sultan.

Laku atau ritual ini hidup pada pemerintahan kerajaan. Hingga pertengahan abad ke-20, terdokmentasikan tapa pp masih banyak dilakukan di desa-desa di Jawa. Bahkan secara berkala dan sporadis aksi tapa pp masih dilakukan dalam beberapa demo di masa kini.

Tatacara Laku Tapa Pepe

Tujuan laku tapa pepe adalah penyampaian protes atau usulan perbaikan. Tentunya juga mengikuti tatacara yang berlalu. Baik yang termaktup ataupun paugeran atau tatanan sosial yang berlaku.

Tempat, umumnya tapa pepe dilakukan di alun-alun. Ya, alun-alun sebagai ruang terbuka simbol rakyat menghadap penguasa. Semisal untuk Keraton Yogyakarta dilakukan di alun-alun Utara. Terungkap keabsahan tempat protes, bukan sembarang areal.

Waktu, laku tapa pepe tidak dilakukan setiap saat. Beranjak dari efektifitas aduan, waktu tapa pepe dilakukan pada waktu tertentu. Saat Sultan menerima paseban para punggawa. Waktu Sultan duduk di singgasana di Siti Hinggil.

Begitupun dengan tata laku trapsila. Pengadu duduk bersila di Alun-alun Utara menghadap ke Selatan tempat singgasana Sultan. Berbusana putih rapi santun cerminan sikap andhap asor. Tampil sopan diwarnai oleh ketulusan motif dan tujuan aduan.  

Pendek kata, rakyat kecil berani menyatakan aduan dengan semangat perbaikan dilakukan dengan santun dan tertib. Apakah ini akan merongrong kewibawaan penguasa?

Aduan berangkat dari niat baik dan disampaikan dengan tatacara yang baik pula. Sultan pemegang tampuk kekuasaan juga tunduk pada kearifan lokal. Memaknai sebagai sumbangsih kecintaan warga bagi kesejahteraan bersama. Kearifan lokal yang mempersatukan.

Tapa Pepe Era 2000an

Laku tapa pepe bukan hanya cerita masa lalu. Ada beberapa catatan tapa pepe sebagai penyampaian aspirasi. Dilaksanakan dengan adopsi laku tapa pepe.

Detik.com pada bulan Juli 2017 memuat berita laku tapa pepe yang dilaksanakan oleh warga DIY. Perihal penataan pedagang dan PT KAI. Secara langkah konstitusi mereka menempuh jalur kepada Gubernur DIY.

Secara budaya kearifan lokal perwakilan pedagang menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono X. Beliau mengemban amanah selaku pimpinan daerah sekaligus keraton. Langkah menghadap Sultan ditempuh dengan laku tapa pepe.

Jawapos, pada bulan Juni 2020 menurunkan ritual tapa pepe di Jepara. Ada kontekstualisasi pemahaman laku tapa pepe. Bukan sebagai protes ketidakpuasan secara langsung.

Abdi Munif dan Zakaria Anshori warga Jepara berbusana putih tapa jemur di Alun-alun Jepara. Bertujuan untuk menyadarkan pemerintah dan masyarakat agar bersatu padu menghadapi virus Covid-19.

Ritual tapa pepe (Foto: JawaPos)
Ritual tapa pepe (Foto: JawaPos)

Beliau berdua mengelilingi alun-alun seraya membaca istighfar. Dilanjutkan menggelar sajadah dan kain putih untuk alas bersila. Persis di depan tiang bendera mereka menghadap kiblat memanjatkan doa.

Sangat menarik. Menurut pemahaman awam saya. Memohon berkat rahmat pemeliharaan Tuhan melalui kerjasama pimpinan negara ataupun daerah dan keiklasan masyarakat. Pimpinan sebagai kepanjangan tangan kasih Tuhan dan masyarakat saling berpadu.

Kontekstualisasi Laku Tapa Pepe dan Perwakilan Rakyat

Pemahaman dan penghayatan sederhana saya, laku tapa pepe tetap relevan hingga saat ini. Sssttt.... tidak berarti ajakan berbondong-bondong menuju Alun-alun atau halaman Istana Kepresidenan loh. Bisa disemprit nih si simbok.

Laku tapa pepe dilakukan oleh perwakilan rakyat kecil. Dipilih wakil yang bijaksana, mursid dan penuh tatakrama. Bukankah kita memiliki wakil rakyat yang dipilih dengan peluh darah pesta demokrasi?

Mari setiap pribadi wakil rakyat, Andika adalah titah pilihan. Bersedia mewakili kami untuk laku tapa jemur menyampaikan aspirasi. Tentunya sesuai kapasitas lembaga negara dan kompetensi setiap pribadi wakil rakyat.

Kesediaan kontrak laku tapa pepe alias jemur sudah dimulai saat seseorang calon menyediaakan diri. Gambar diri di baliho ataupun ucapan selamat kepada yang berprestasi adalah pernyataan kesiapan untuk tapa jemur.

Alun-alun yang tersedia bagi setiap wakil rakyat untuk tapa jemur bersalin rupa. Mari silahkan bertapa mengolah aspirasi dan menjalankan amanat perwakilan melalui ruang sidang berAC. Bukan lagi berjemur bergosong ria.

Begitupun jadwal tidak semata mengikuti kemurahan raja. Kini kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif dalam kesetaraan. Berpadu untuk mendengar suara rakyat di bidang apapun. Termasuk badai COVID-19 saat ini.

[Ada loh yang kesehariannya tapa pepe. Memohon curahan rahmat berkat melalui berjemur. Diantaranya para dulur simbok kebun, para petani yang tapa pepe. Matur nuwun mbak Ukik]

Wasana Kata

Laku tapa pepe atau tapa jemur esensinya tidak lekang oleh waktu. Kontekstualisasi melalui peran aktif punggawa dan perwakilan rakyat tapa jemur serta seluruh lapisan anak negeri. Pilar kehidupan bernegara. Selamat tapa jemur era kini. Ekspresi syukur kemerdekaan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun