Beliau berdua mengelilingi alun-alun seraya membaca istighfar. Dilanjutkan menggelar sajadah dan kain putih untuk alas bersila. Persis di depan tiang bendera mereka menghadap kiblat memanjatkan doa.
Sangat menarik. Menurut pemahaman awam saya. Memohon berkat rahmat pemeliharaan Tuhan melalui kerjasama pimpinan negara ataupun daerah dan keiklasan masyarakat. Pimpinan sebagai kepanjangan tangan kasih Tuhan dan masyarakat saling berpadu.
Kontekstualisasi Laku Tapa Pepe dan Perwakilan Rakyat
Pemahaman dan penghayatan sederhana saya, laku tapa pepe tetap relevan hingga saat ini. Sssttt.... tidak berarti ajakan berbondong-bondong menuju Alun-alun atau halaman Istana Kepresidenan loh. Bisa disemprit nih si simbok.
Laku tapa pepe dilakukan oleh perwakilan rakyat kecil. Dipilih wakil yang bijaksana, mursid dan penuh tatakrama. Bukankah kita memiliki wakil rakyat yang dipilih dengan peluh darah pesta demokrasi?
Mari setiap pribadi wakil rakyat, Andika adalah titah pilihan. Bersedia mewakili kami untuk laku tapa jemur menyampaikan aspirasi. Tentunya sesuai kapasitas lembaga negara dan kompetensi setiap pribadi wakil rakyat.
Kesediaan kontrak laku tapa pepe alias jemur sudah dimulai saat seseorang calon menyediaakan diri. Gambar diri di baliho ataupun ucapan selamat kepada yang berprestasi adalah pernyataan kesiapan untuk tapa jemur.
Alun-alun yang tersedia bagi setiap wakil rakyat untuk tapa jemur bersalin rupa. Mari silahkan bertapa mengolah aspirasi dan menjalankan amanat perwakilan melalui ruang sidang berAC. Bukan lagi berjemur bergosong ria.
Begitupun jadwal tidak semata mengikuti kemurahan raja. Kini kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif dalam kesetaraan. Berpadu untuk mendengar suara rakyat di bidang apapun. Termasuk badai COVID-19 saat ini.
[Ada loh yang kesehariannya tapa pepe. Memohon curahan rahmat berkat melalui berjemur. Diantaranya para dulur simbok kebun, para petani yang tapa pepe. Matur nuwun mbak Ukik]