Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filosofi Ribut-Rukun ala Semar, Sibling Rivalry Tingkat Dewa

12 April 2021   09:24 Diperbarui: 12 April 2021   14:44 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filosofi ribut rukun ala Semar (olahan pribadi)

Jagad pengasuhan anak alias parenting sangatlah riuh. Alamak indahnya saat rukun. Tak jarang terjadi keributan. Kompetisi antar kakak adik (sibling rivalry) bagian dari kehidupan keluarga. Menarik untuk menyimak filosofi ribut rukun ala Semar. Sibling Rivalry tingkat dewa.

Persaingan antar saudara dalam kehidupan keluarga baik keluarga mini hingga keluarga dalam artian luas bukanlah hal baru. Kisah Kain dan Habel, indahnya perdamaian Yakub-Esau usai pertikaian panjang tercatat dalam Alkitab.

Melongok dari sejarah menjumpai daftar panjang persaingan hingga perseteruan antar saudara kandung. Kisah Majapahit, Mataram hingga mancanegara membabarnya. Ada yang berakhir manis tak jarang menyisakan tragis.

Kompasiana sedang membabar topik sibling rivalry, persaingan antar saudara. Persaingan yang diwarnai oleh aneka rasa mulai dari iri, cemburu, dan saling curiga. Mendorong tindakan pertikaian ringan hingga berat. Aneka kisah dan kiat mengelolanya digelar oleh para Kompasianer.

Sibling rivalry di Kahyangan Jonggringsaloka

Mengambil sudut pandang sedikit berbeda, mari tengok kisah ribut rukun antar saudara kandung dari jagad pewayangan Jawa.

Kisah keluarga Batara Dewa Sang Hyang Tunggal yang memiliki putra kembar 3. Bayi-bayi lucu yang menggemaskan. Teman sepermainan sebaya yang mengasyikkan. Para dayang pengasuh pontang-panting dan tersenyum gembira menyaksikan kelucuan dalam tumbuh kembang mereka.

Antaga, Ismaya, dan Manikmaya. Mereka tiga bocah di Kahyangan Jonggringsaloka. Ribut rukun meraih perhatian ayah bunda. Gelut berebut permainan hingga rukun bermain bersama.

Persaingan semakin terasa saat masing-masing menyadari perihal putra mahkota penerus tahta kedewataan. Sebagian teredam oleh etika persaudaraan. Kadang kala membesar apalagi oleh kisikan kiri kanan pemancing kekisruhan suasana.

Antaga sang sulung merasa mestinya akulah sang putra mahkota. Ismaya sang tengah tak salah berharap aku si penyeimbang sulung bungsu calon pemegang tahta kedewataan. Begitupun Manikmaya sang bungsu, banyak cerita si bungsulah yang akan memimpin.

Sang Hyang Tunggal menimbang aneka hal. Memilih waktu yang tepat untuk menetapkan penunjukan putra mahkota. Tak dinyana apa yang dipikirkan orang tua berbeda dengan ketepatan waktu para putranya. 

Persaingan bukan hanya cerita rakyat biasa. Jagad kedewataan pun mengalaminya. Keriuhannya juga tidak tanggung-tanggung dari baku hantam hingga perselisihan hebat. Keributan yang luar biasa, adu sakti antar para dewa muda.

Gempar adu digdaya mengguncang kedamaian Kahyangan Jonggringsaloka. Saatnya sang ayahanda Batara Dewa Hyang Tunggal bertindak. Aturan permainan digelar. Gunung Mahasamun atau Arga Garbawasa pada versi lain sebagai targetnya. Siapa yang berhasil menelan dan memuntahkannya kembali, itulah pemenangnya. Adu nguntal gunung.

Antaga sang sulung membuka laga. Berbekal rasa percaya diri ditopang kemampuan, dihisapnyalah sang gunung. Memperpesar kapasitas tangkapan yaitu mulut dan perut. Perlahan gunung tercerabut, pucuknya mulai memasuki mulut. Tetiba duargh..... gunung meletus di mulut dan terlontar kembali. Menyisakan kerusakan luar biasa pada paras Antaga.

Belajar dari pengalaman Antaga, Ismaya mengubah strategi. Mengerahkan daya ajian, gunung diperkecil skalanya. Terangkat, mulus memasuki mulut dan mengisi perut yang langsung menambun. Saatnya memuntahkan kembali. Olala gunung mini yang sudah tersedot di perut tak kuasa dimuntahkannya. Ismaya terkapar pingsan.

Bagaimana dengan Manikmaya? Kedahsyatan energi persaingan perebutan kekuasaan dan kehormatan tahta kedewataan membuat hatinya gentar. Diceritakan Manikmaya bersembunyi di balik bebatuan dan pingsan mengiringi Antaga dan Ismaya.

Penuh keprihatinan Batara Dewa Hyang Tunggal manengku puja. Mendapat dukungan dari ayahandanya Sang Hyang Wenang. Rahmat dewata melingkupinya. Antaga, Ismaya, dan Manikmaya beroleh pulih.

Saling berpelukan menata sembah menanti titah sang ayahanda. Gunung mahasamun adalah perlambang keserakahan. Arga Garbawasa, bukan sembarang gunung, rahim kehidupan, tempat mata air berawal.

Persaingan antar saudara (sibling rivalry) terjadi di aras kahyangan kadewataan. Dewa juga silau kekuasaan hingga rebutan nguntal gunung. Khilaf yang diikuti saling minta maaf. Ribut yang diikuti oleh rukun. Dinamika ribut rukun bukan ribut-ributan terus.

Ribut rukun ala Semar

Bagaimana kelanjutan perselisihan tiga dewa muda? Batara Dewa Sang Hyang Tunggal memutuskan. Tahta kedewataan diampu oleh si bungsu Manikmaya dengan gelar Batara Guru. Mendapat tugas menata dan menjaga harmoni dunia Kahyangan, jagad manusia dan alam siluman.

Antaga dinilai berhasil memuntahkan keserakahan. Pribadi yang tidak akan mempan menerima suap keserakahan. Mendapat julukan baru sang Togog lengkapnya Togog Tejamantri. Mendapat tugas mendampingi klan Kurawa. Menjadi pembisik kesejatian di tengah kegelapan hidup.

Ismaya juga dinilai berhasil menelan tanpa menyisakan keserakahan. Mengosongkan diri dari hal batil. Mendapat julukan baru sang Semar. Mendapat tugas mendampingi klan Pandawa. Menjadi penjaga kesejatian di tengah kebaikan.

Bagaimana akhir dari perselisihan antar tiga bersaudara? Layaknya Teletubies, mereka berpelukan saling meminta maaf, menyesali pertikaian dahsyat yang menjadi titik balik kehidupan mereka.

Masing-masing menerima bagiannya dengan iklas legawa. Sang Batara Guru, si bungsu Manikmaya menjaga harmoni tiga alam atas (jagad dewa), tengah (manusia) dan bawah (siluman) dengan penuh tanggung jawab.

Antaga, sulung segera menjalankan peran tugas barunya. Titisan dewa dalam rupa Togog Tejamantri. Berpenampilan mulut ndhower mata agak juling, sebagai pengingat keberhasilan memuntahkan lambang keserakahan yang nyaris membunuhnya. Ditampiknya tawaran salon kahyangan yang hendak mendadani penampilannya agar kembali ganteng menawan.

Meski tim kahyangan sanggup menggembalikan perut sixpack tanpa harus ke gym, Ki Semar memilih postur khasnya. Perut tambun dan jalan sedikit megal-megol, sebagai pengingat keserakahan membawa sengsara. Ki Semar membisikkan barang siapa merusak gunung mengundang kepunahan. Menyentuh hati yang peka, menebah kesadaran perusak alam.

Ribut rukun ala dewa kembar tiga yaitu Semar, Antaga dan Manikmaya. Ketiganya ada dalam kehidupan nyata. Bukan sekedar dongeng namun mewujud dalam kontekstual kekinian. Simbolik filosofi merawat kerukunan.

Jiwa Batara Guru dan kembarannya Semar (Batara Ismaya) serta Togog (Batara Antaga) merasuk dalam setiap pribadi. Kemampuan menata harmoni, menempatkan diri sebagai titah ciptaan. Kesediaan menjaga diri dari keserakahan dan kebatilan. Juga sebagai pembisik penjaga amanah.

Selamat ribut rukun menyatukan karakter Semar dan kembarannya. Mari menyongsong ibadah puasa di bulan Ramadhan . Selamat mesu menguji dan menata diri menuju fitri......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun