Menjiwai semangat Kartini bukan sebatas seremoni. Kontekstualisasi Kartini upaya menghidupi perjuangannya. Kartini melakoni pembelajaran daring. Sosok yang bertindak lokal berpikir global. Eh beliau juga Kompasianer kontekstual keren. Ini ceritanya.
Kartini melakoni pembelajaran daring
Kartini kelahiran Jepara 21 April 1879, sungguh bocah perempuan dan perempuan muda yang luar biasa pada zamannya. Memiliki pancaran naluri rasa ingin tahu yang meluap. Kepo istilah kekiniannya.
Pendidikan formal ditempuhnya hingga usia 12 tahun, sebelum memasuki masa pingitan. Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Kesetaraan saat ini senada usia lulus Sekolah Dasar (SD). Apakah kemampuan Kartini terpatok oleh capaian pembelajaran usia tingkat SD? Kapabilitas menabrak batas pendidikan formal.
Rasa ingin tahu yang tidak semua mampu ditampung di hati dan pikirannya. Memenuhi membuat nyesek jiwanya, overthinking mungkin kini sebutannya. Namun beliau tidak berhenti pada galau.
Keingin tahuan, rasa prihatin yang mencoba dicari celah jalan keluarnya. Beliau mencari jawaban melalui bertanya jawab. Membaca aneka sumber pengetahuan. Hingga aktif berkomunikasi bersuratan. Tidak selalu direspon positif pertanyaan dan gagasan beliau. Tidak menyerah kala dighosting pastinya.
Masa pingitan adalah masa sekolah Kartini secara mandiri. Tanpa tatap muka pendampingan oleh guru. Kartini memperkaya batin dengan mencari dan menikmati sumber belajar tatap muka. Nah kan Kartini menjalani masa pendidikan model 'daring' pada zamannya.
Bukan masalah daring dari sisi teknologi. Pembelajaran daring dari sisi filosofi mandiri siswa aktif belajar. Menjadikan aneka sumber belajar sebagai patron gurunya. Buku, majalah, koran hingga korespondensi adalah sarana belajar mandiri.
Bertindak responsif tidak melulu reaktif. Berperilaku sesuai budaya zamannya melalui interaksi sesama perempuan. Apabila muncul sebutan feminis tergantung pelabelan kita. Perempuan sebagai media beliau berkarya. Kerangka besarnya memanusiakan manusia seutuhnya.
Memanfaatkan teknologi informasi komunikasi (TIK) pada zamannya. Bukan hanya mengandalkan budaya dengar tutur. Merambah ke area baca tulis. Surat kabar, majalah hingga bersurat lokal, nasional hingga internasional. Padanannya kini, beliau tidak asing dengan surel (email), buku elektronik (ebook), pun siniar (podcast).
Bisa jadi Kartini ngeblog. Apalagi kalau ada blog keroyokan beyond blogging beliau menjadi kompasianer bersama dengan teman-teman menulisnya. Kartini mengunggah gagasannya, membuat artikel tanggapan atas tulisan teman yang lain. Rosa Abendanon adalah salah satu kompasianer sahabatnya, mereka saling vote dan komen.
Rubrik apa ya yang beliau sasar. Kartini menulis tentang perempuan, pendidikan, budaya, hingga politik pemerintahan di tempat tinggalnya. Lintas rubrik artikel yang dianggitnya. Peduli literasi dan edukasi sematan yang diberikan oleh para kompasianer sahabatnya.
Artikel pembahasan gagasan Kartini yang kontekstual sesuai dengan zamannya. Mengisi rubrik pendidikan perempuan yang kontekstual. Meracik kurikulum kewanitaan. Memadukan capaian pembelajaran ketrampilan dan etika.
Kartini bertindak lokal berpikir global
Menurut Kartini, penguasaan etika dan ketrampilan memampukan manusia berkontribusi secara utuh dalam kehidupan yang lebih baik. Padanannya kini adalah penguasaan hardskill dan softskill. Pemenuhan kemampuan profesional dan attitude perilaku. Mencakup ranah kognitif, psikomotorik hingga afektif.
Lah kalau beliau mengajar perempuan berpolitik praktis ataupun pengetahuan robotik kan tidak sesuai dengan budaya saat itu. Memilih keluarga sebagai basis pendidikan. Pendidikan perempuan sebagai embrionya, perempuan yang terdidik mampu mendidik keluarganya.
Kartini berpikir dan bertindak kontekstual dan realistis. Menyigi optimasi pendidikan perempuan pemantik pendidikan keluarga. Keluarga bagian dari masyarakat yang menyusun bangsa. Keren sekali, bertindak lokal berpikir global.
Kartini realistis, bagian dari penerimaan kenyataan. Cita-cita Kartini sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan keluar dari kelokalan pun kandas. Kartini menjadi bagian budaya masyarakatnya pernikahan muda dan bukan ratu tunggal dalam keluarga.
Tersenyum tulus seraya menimang buah hati tunggalnya Soesalit Djojoadhiningrat pada tanggal 13 September 1904. Senyum Kartini terkatub selamanya, selang beberapa hari kemudian. Titimangsa 17 September 1904, Kartini tutup usia pada usia 25 tahun. Mewariskan pembelajaran pentingnya kesehatan ibu hamil, bagian dari keprihatinan yang selalu diudarnya.
Yes, Kartini Kompasianer kontekstual keren
Kartini sebagai pribadi memang perempuan berusia muda yang pyayi Jawa. Namun spirit jiwa Kartini bersifat universal. Dapat menjelma pada siapa saja dengan latar belakang budaya apa saja. Ini bukan gender, usia, pun pewakil budaya. Ini tentang jiwa visioner.
Kompasiana juga dapat kita maknai sebagai pengejawantahan cita-cita Kartini. Rumah bersama untuk saling membabar gagasan, berinteraksi, berkolaborasi peduli literasi dan edukasi. Setiap Kompasianer adalah sahabat Kartini. Pewaris visi Kartini bukan hanya perempuan. Visi hakiki yang bersifat universal.
Setiap kita terpanggil untuk menyuarakan Kartini Kompasiaer kontekstual keren di bidang masing-masing. Melepas batas usia, laki-laki maupun perempuan, jomlo maupun berkeluarga. Semua adalah Kartini Kompasiana. Berbagi tulisan lintas genre dan rubrik. Membabar visi kehidupan yang sehat sejahtera.
Selamat berkarya duhai bapak, ibu, uni, uda, akang, amang, bang, bung, sahabat Kartini Kompasianer kontekstual keren. Salam akhir pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H