Saatnya kembali ke lapo....
Segarnya sajian jus buah lokal paduan markisa terong Belanda (jus Martabe) dan manis gurih arsik ikan segar tangkapan dari Danau Toba. Mulut pun langsung mendecap dan mata mengerjab sembari mencicip sambal andaliman.Â
Eda empunya lapo pun tanggap dengan rasa penasaran kami. Beliau memperlihatkan wujud fisik andaliman yang bulat mungil dan menawarkan kami bungkusan. Kami pun akhirnya membungkus dengan foto saja.
Pasar Tradisional sebagai Etalase Budaya Lokal dan Edukasi Bangga Produk Lokal
Setiap daerah memiliki sebutan yang khas untuk pasar lokal, awalnya rekan pemandu blusukan kami dalam perjalanan Medan-Berastagi- Parapat-Pematang Siantar menyebutnya pajak. Namun, di sisi lain beliau menyebutnya pekan. Lah kalau ini mirip dengan bahasa daerah di Jawa Tengah, peken bahasa yang lebih halus. Tiba-tiba telinga menajam kala diserukan onan.
Onan adalah bahasa Batak, berasal dari "on" dan "an" yang berarti ini dan itu. Onan menyediakan barang ini dan itu. Pembeli ini dan itu memerlukan barang ini dan itu.Â
Biasanya pada hari Onan atau hari pasaran, kegiatan akan lebih ramai. Pembeli lebih bebas memilih barang yang diinginkannya. Penyebar warta atau informasi memilih berdatangan di hari tersebut untuk penyebaran informasi efektif sekaligus efisien.
Jadi teringat penamaan pasar di daerah Solo berkenaan dengan hari pasarannya, seperti Pasar Pon, Pasar Kliwon, Pasar Legi yang menonjol selain Pasar Wage dan Pahing.
Beruntung, saat kami tiba di sana, pemandu yang berasal dari lokal Simalungun memaparkan aneka cerita tentang pasar. Dari peran sebagai lembaga adat hingga peran romantis bagi muda mudi setempat. Mar-onan-tombis, perkenalan yang bermula dengan senggolan di Onan atau pasar.
Onan menjadi wadah interaksi penjual dan pembeli ini itu, menjadi sarana perjumpaan antara kerabat ini dan itu. Bertemunya produsen dan konsumen.Â