Setiap waktu memiliki musimnya. Desember Januari puncak musim hujan. Tentunya dibarengi berkat panen air hujan, layaknya hujan berkat tercurah. Mari belajar seni memanen air hujan (rain water harvesting).
Hujan merupakan peristiwa alam bagian dari siklus air. Uap air di atmosfer mengalami serangkaian proses kemudian tercurah ke permukaan bumi sebagai kucuran air hujan. Hujan menjadi sumber air bagi kehidupan ciptaan di bumi.
Curahan hujan yang menimpa permukaan bumi mengalami pergerakan yang berbeda. Pergerakan memasuki permukaan bumi, semakin ke lapisan bawah mengisi cadangan air bumi. Sebagian yang tidak tertampung oleh kapasitas akan mengalir di permukaan menjadi limpasan permukaan, mencari jalan alirannya.
Menyadari bahwa air hujan adalah berkat pemeliharaan, manusia melakukan upaya memanen air hujan. Memaksimalkan fungsinya dalam kehidupan. Aneka model pemanenan air hujan. Ini sebagian modelnya.
1. Menampung air hujan dalam wadah terbatas
Ini model memanen air hujan dengan cara paling sederhana. Teringat saat kecil, saat hujan bagian dari saat yang dinanti. Kami akan menampung air hujan dalam ember untuk keperluan mandi dan cuci. Lumayan mengurangi tenaga menimba air dari sumur. Saat itu air PDAM belum menyentuh daerah kami.
Caranya pun sangat sederhana. Menampung air hujan yang jatuh dari atap genteng rumah kami. Ibu selalu mengingatkan untuk tidak langsung menampung air hujan di saat awal hujan turun. Air hujan biarkan mencuci debu dan aneka kotoran dari genteng. Ditandai setidaknya melalui partikel kecil yang terikut.
Air hujan kami endapkan. Bagian atasnya untuk mandi dan mencuci perkakas maupun baju. Masih terasa sulitnya mendapatkan rasa kesat, seolah licin bekas sabun tetap menempel di badan maupun baju cucian.
Nah bila masa kecil kami cukup memanen air hujan di ember, beberapa daerah lain sangat konsen untuk memanen air hujan. Bahkan menyimpannya dalam wadah yang lebih besar mulai dari drum, penyimpan air besar berbahan plastik hingga stainless steel.
Sangat menarik mengamati dan belajar dari masyarakat daerah karst memanen air hujan. Karakter daerah karst, meski sumber air hujan lumayan melimpah, namun tanah tidak mampu menyimpannya di permukaan. Air hujan yang masuk ke tanah segera menerobos masuk ke lapisan bawah yang sulit dijangkau.
Model ini tetap dipertahankan, kini tampungan digunakan untuk kebutuhan rumah tangga non konsumsi. Kemajuan teknologi mampu menaikkan air bumi di tempat tertentu dengan pompa dan disalurkan ke rumah tangga sebagai air konsumsi.
2. Menampung air hujan dalam embung
Model ini pada dasarnya agak mirip dengan menampung air hujan pada wadah terbatas. Nah ini modelnya dibuat bangunan alam berupa embung semacam kolam yang besar.
Awal menyimak embung juga di daerah karst. Masyarakat menggunakan daerah cekungan untuk menampung air hujan. Air berasal dari kucuran hujan langsung dan limpasan permukaan dari daerah sekitarnya.
Air tampungan untuk kebutuhan sehari-hari mulai dari mandi, cuci. Hingga untuk kegiatan produktif mengairi lahan di sekitar embung. Ternak pun ikut menikmati pemeliharaan dari embung.
Beberapa embung berada di bagian atas puncak bentang lahan. Secara khusus menampung langsung curah hujan dari langit. Banyak embung mempergunakan bahan tebal dan kedap air untuk mengalasi dasar dan dinding embung. Sehingga menghambat kehilangan air tampungan dari rembesan sisi dan bagian bawah.
Proses pembuatannya relatif lebih sulit karena berada di daerah agak atas. Keuntungannya dalam penyaluran air tampungan akan lebih mudah dan efisien karena mengandalkan gaya gravitasi bumi.
3. Situ atau Rawa pemanen air hujan secara alami
Pada beberapa wilayah keberadaan situ/rawa juga sarana alami memanen air hujan. Memanen baik dari curahan langsung dan limpasan permukaan dari areal di sekitarnya.
Namun sayang cukup banyak yang berubah fungsi menjadi pemukiman dengan model pengurukan. Penyempitan area menjadikan keterbatasan pemanenan dan air hujan mencari jalannya sendiri. Konservasi situ menjadi sesuatu yang perlu.
Silakan membaca:Â Jabodetabek Kawasan Seribu Rawa, Riwayatmu Kini
4. Membuat lubang resapan biopori
Kalau 3 model di atas belum menyentuh pembaca secara pribadi, karena tidak pernah memanen air hujan ataupun membuat embung, mari tengok pekarangan kita. Tempat tinggal kita bervariasi dari puluhan m2 hingga ribuan m2. Sebagian kita isi dengan bangunan tertutup, seberapa kita biarkan untuk melalukan air hujan memasuki lapisan bumi?
Hwaduh terlanjur saya semen sehingga tiada celah untuk memasukkan air hujan ke dalam bumi di pekarangan saya nih. Bagaimana kalau sebatas lubang resapan biopori (LRB)? Tidak luas loh cukup lubang berdiameter sekitar 10 cm dengan kedalaman sekitar 1m atau sekuatnya kita mengebor.
Pada saat musim kemarau, lubang bisa kita isi dengan limbah sayuran, potongan rumput jadilah wadah pengomposan yang dapat kita panen untuk pupuk.
5. Membuat stupa es
Lah kalau ini tidak perlu kita buat. Masyarakat di Ladakh pegunungan Himalaya yang melakukannya. Mereka memiliki masalah kekurangan air untuk lahan pertanian karena saat musim semi air masih sering membeku dan sebelum musim panas berakhir cadangan air sudah habis.
Menyiasatinya bisa dengan cara mengumpulkan air hujan dan mengalirkannya untuk mengalami pembekuan bertahap menjadi stupa es. Kemudian akan mencair secara bertahap menjadi sarana irigasi. Ladang pun menghijau, panen kembali melimpah. Kini diadopsi di daerah lain yang memiliki masalah sejenis.
Silakan membaca:Â Antara Stupa Es di Himalaya dan Embung di Daerah Karst, Kearifan Lokal Menyiasati Kekeringan
Nah para sahabat pembaca Kompasiana, mari memanen air hujan. Kita lakukan dengan cara yang kita bisa. Mulai skala rumah tangga hingga areal. Mensyukuri, berkat hujan kan tercurah.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H