Aroma liburan akhir pekan sudah terasa. Semakin istimewa karena Senin 17 Agustus 2020 adalah hari peringatan ke 75 Kemerdekaan Republik Indonesia. Jadilah akhir pekan panjang.
Salah satu kegembiraan akhir pekan panjang adalah berkesempatan dolan. Bila tidak dapat melakukannya tidak mengapa lah membuka kenangan dolan. Ini catatan ringan saat melongok Rumah Pengasingan Bung Karno di Parapat.
Melongok, ya singgah dalam waktu singkat. Tanpa mendapat kesempatan memasukinya ataupun mendengarkan penjelasan langsung dari yang memiliki kewenangan. Sehingga menjadi catatan kesan, impresi dari penglihatan dan perasaan.
Pemaknaan pengasingan dalam dimensi waktu
Berdiri di depan rumah pengasingan Bung Karno yang berada di ujung semacam semenanjung, daratan yang menjorok ke tepian danau Toba, mengait kata asing.Â
Menelisik dari Kamus Bahasa Indonesia, asing merujuk pada keadaan tersendiri,terpisah sendiri, terpencil. Mencakup fisik keberadaan maupun perasaan.
Mengapa penguasa perlu mengasingkan seseorang? Membuang jauh-jauh ke tempat yang terpencil? Karena orang tersebut dianggap membahayakan kepentingan penguasa. Seseorang yang diasingkan mendapat sebutan oknum atau malah tokoh bagi pendukungnya. Sebutan dengan batas yang sangat tipis.
Terdapat kata kunci terpencil dari urutan pemahaman ini. Terpencil secara jarak fisik, secara lokasi, akses perjumpaan. Upaya pemutusan rantai komunikasi melalui titik keterpencilan. Komunikasi untuk mendapat semangat dukungan ataupun sebaliknya menggelorakan ide dan semangat dari seseorang yang diasingkan.
Pemaknaan pengasingan sangat dinamis dalam dimensi waktu. Keterpencilan lokasi yang menjadi pembatas pada suatu masa, menjadi tidak berarti lagi seiring perubahan zaman. Era teknologi komunikasi menabrak batas pengasingan berdasarkan lokasi.
Selama sinyal telekomunikasi terjangkau, keterpencilan menjadi bersifat maya. Bahkan ada kalanya seseorang merasa terpencil, terasing di tengah keriuhan. Ini mah karena 'sinyal rasa' yang terputus dari lingkungan sekitar.
Bahkan ada kalanya seseorang merasa perlu mengasingkan diri. Entah dengan sengaja menuju tempat terpencil. Menutup sementara akses keluar diri. Guna melakukan kontemplasi, mawas diri demi perjalanan batinnya.
Melongok Rumah Pengasingan Bung Karno di Parapat
Salah satu destinasi yang sangat sayang dilewatkan saat para sahabat berada di Parapat. Sangat mudah dijangkau dari pusat keramaian kota. Rumah peristirahatan bergaya Eropa berada di bagian puncak dataran di ujung semenanjung.
Ingin ameng-ameng, jalan-jalan mendekati tebing danau? Terdapat gazebo putih menawan di sisi kanan depan rumah pengasingan. Mendengarkan debur ombak danau menyapa tebing.
Kondisi fisik rumah ini sangat terawat. Menjadi aset pemerintah setempat (dhi Pemda SumUt). Kini keterpencilannya menjadi terpatahkan. Apalagi dengan keberadaan bandar udara Internasional Silangit. Juga bandara regional Sibisa untuk keperluan khusus.
Sejenak melongok  Rumah Pengasingan Bung Karno di Parapat. Menyesap keberadaannya secara fisik. Menyemat keterpencilannya di sudut rasa.
Kembara usil pikir saya berujar. Nampaknya ini cara Bung Karno dan Bung Hatta mencintai sebaran fisik Tanah Air yang beliau hormati. Beliau blusukan ke pelosok terpencil melalui pengasingan. Jejak rumah pengasingan beliau lumayan tersebar di Nusantara.
Tentunya tetap dengan memenuhi protokol kesehatan. Menjaga jarak tanpa kerumunan, toh pantai seputar rumah pengasingan ini cukup leluasa, menjaga sanitasi. Sekaligus melestarikan lingkungan sekitar.
Seingat saya tidak ada pos retribusi karena bukan tempat pariwisata komersial. Membuka diri bagi pejalan, peziarah yang ingin melongok salah satu prasasti sejarah. Keterpencilan dan pengasingan.
Dirgahayu ke-75 Republik Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H