"Silau mata oleh penampilan ya, sosok menjulang itu pada saatnya akan dicampakkan, mari belajar dari Jawan Padi", ajak Limbuk.
Jawan Padi memikat menjulang
Limbuk masih terpana, mengagumi malai yang menjulang merimbun penuh bulir dengan warna memikat di hamparan padi. Batinnya menggumam, nah ini jenis unggul, tampil lebih dari kebanyakan. Mata wadagnya hampir meredupkan mata batinnya.
Dihampirinya Paman Petani yang sedang menjagai hamparan padi, berbincang di dangau sawah. Terperanjat mendengar penjelasan Paman Petani. Bahwa sejatinya si jawan padi yang memikat menjulang adalah gulma pengganggu.
Rumput ini banyak dijumpai di Indonesia. Para dulurs tani mengenalnya dengan nama gagajahan (Sunda), jajagoan, padi burung, jawan padi, parikejawan, suket ngawan.
Menjulang dan dicampakkan
Bila si jawan padi ini gulma pengganggu, mengapa tidak dicabut dari awal? Seraya tersenyum Paman Petani berkata bahwa penampakan jawan padi muda sangat mirip dengan padi utama yang ditanamnya.
Tanpa pengenalan yang benar, malah dapat menyebabkan keliru cabut. Akar tanaman padi dan si jawan padi sering saling membelit, sehingga pencabutan jawan padi malah berpeluang menyebabkan si padi ikut tercabut.
Tumbuh bersama itu dapat saling memacu. Jawan padi cukup rakus menyerap hara dari dalam tanah. Untuk bertahan hidup, padi yang sesungguhnya terdorong berakar lebih dalam untuk mencukupi makanannya.
Jawan padi dan padi saling membutuhkan sinar matahari. Mereka kompak bertumbuh ke atas. Sifat kompetisi yang tanpa sadar memacu pertumbuhan padi yang diusahakan Paman Petani, untuk saling bertahan hidup.
Pembedanya, saat menjelang berbunga. Padi asli seakan berhenti meninggi. Mempersiapkan kehidupannya untuk menghasilkan malai berbiji. Sedangkan si jawan padi saatnya menjulang dengan tangkai malai yang panjang.
Malai awal jawan padi, menurut Paman Petani juga bagian dari tatanan alam dan Illahi melindungi hasil panen yang sesungguhnya. Awalnya para burung juga tergoda mematuk bulir gabah jawan karena dikira gabah padi.
Sedangkan panenan malai padi yang sesungguhnya dipanennya dengan suka cita. Dirontokkan, ditampi untuk memisah gabah kosong dan dibawanya ke lumbung kemuliaan. Menjadi sarana berkat bagi semua titah.
Sesungguhnya jawan padi di hamparan padi sawah juga terjadi dalam kehidupan masyarakat. Paman Petani menatap Limbuk yang belum mampu tanggap sasmita.
Pada saatnya, si jawan nampak lebih unggul menjulang. Unggul dalam tampilan, fasih dalam menata kata juga meracik janji. Banyak orang terkecoh dengan tokoh menjulang ini.
Falsafah jawan padi, menyaru untuk tumbuh bersama, menjulang pada saat yang tepat. Berdampingan dengan falsafah padi, semakin berisi semakin menunduk.
Si Limbuk tercenung semburat bingung. Mencoba mencerna kisah jawan padi yang menjulang lalu dicampakkan dari sang Paman Petani. Namun setiap pembaca Kompasiana dengan renyah menyerap falsafah jawan padi.
Selamat berhari Minggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H