Jawan padi dan padi saling membutuhkan sinar matahari. Mereka kompak bertumbuh ke atas. Sifat kompetisi yang tanpa sadar memacu pertumbuhan padi yang diusahakan Paman Petani, untuk saling bertahan hidup.
Pembedanya, saat menjelang berbunga. Padi asli seakan berhenti meninggi. Mempersiapkan kehidupannya untuk menghasilkan malai berbiji. Sedangkan si jawan padi saatnya menjulang dengan tangkai malai yang panjang.
Malai awal jawan padi, menurut Paman Petani juga bagian dari tatanan alam dan Illahi melindungi hasil panen yang sesungguhnya. Awalnya para burung juga tergoda mematuk bulir gabah jawan karena dikira gabah padi.
Sedangkan panenan malai padi yang sesungguhnya dipanennya dengan suka cita. Dirontokkan, ditampi untuk memisah gabah kosong dan dibawanya ke lumbung kemuliaan. Menjadi sarana berkat bagi semua titah.
Sesungguhnya jawan padi di hamparan padi sawah juga terjadi dalam kehidupan masyarakat. Paman Petani menatap Limbuk yang belum mampu tanggap sasmita.
Pada saatnya, si jawan nampak lebih unggul menjulang. Unggul dalam tampilan, fasih dalam menata kata juga meracik janji. Banyak orang terkecoh dengan tokoh menjulang ini.
Falsafah jawan padi, menyaru untuk tumbuh bersama, menjulang pada saat yang tepat. Berdampingan dengan falsafah padi, semakin berisi semakin menunduk.