SMS pun segera dikirim, karena gugup dan tegang ....weladalah berita yang terkirim....[Adipati Karna....seda...] yang seharusnya ....[Adipati Karna minta kiriman sedhah secepatnya]. Pesan singkat (short message) jadi salah kaprah sedhah (daun sirih) tertulis seda (artinya mangkat, wafat, e seperti pada sate). Cilakanya tanpa ada chek recheck berita terkirim.
"Koq ya SMS jadul, lha mbokya video call atau skype biar ada unsur audio visual, ndhuk"
"Ssstt.... simbok kebun menulisnya tahun 2014an, belum kenal medsos, akrabnya baru SMS"
Gubrak....kehebohanpun terjadi di istana Awangga. "Bila kakangmas Karna tidak bisa melawan takdir, diajengpun mengikuti takdir kakangmas...." Singkat cerita Dewi Surtikanti dan Adipati Karna putra Dewa Matahari kembali ke pelukan bumi mengikuti jalan takdirnya yang tersurat di kitab Mahabharata.
Sambil tertawa lirih dengan nada dasar prihatin, simbok Cangik pelan menjewer telinga Limbuk, "meski teorimu wagu, lumayan untuk selingan pengingat tragedi informasi, ndhuk"
"Gendhuk Limbuk.....mawar merahnya sudah siap, yook kita berangkat ziarah ke Padang Kurusetra" Bunda Dewi Surtikanti yang tetap gandhes luwes di usia senja inipun melangkah anggun.
****
Catatan: Bagian dari buku "Gendhuk Limbuk. Belajar Kearifan Lokal dari Lingkungan Sekitar", oleh Suprihati, 2015. Meramaikan artikel Srikandi ngedan.
Nyekar: tabur bunga di makam
Anget: hangat
Ndleming: menceracau, menggigau
Slenca: tidak sesuai
Sajak nyalawadi: terasa misterius
Trah: garis keturunan
Nguda rasa: menyampaikan pendapat
Mbrindhil: gundul tanpa daun
Sedhah: suruh (bhs Jawa), sirih, Piper betle
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H