Peristiwa adalah penggenapan prediksi. Semisal, Poseidon sang Dewa Laut dalam bingkai menjinakkan air (Taming of The Waters). Menjadi diorama memikat pada Fontana di Trevi atau air mancur Trevi yang dibangun pada abad 18.
Tiga Abad yang lalu. Bukankah taming of the waters tetap relevan hingga kini? Inspirasi seni menjinakkan air, yang tak lekang oleh waktu.Â
Inspirasi Seni Menjinakkan Air
Fontana di Trevi atau air mancur Trevi berada di distrik Trevi, merupakan salah satu daya pikat kota Roma. Balutan antara keindahan arsitektura dan mitos dalam kemasan industri pariwisata.
Memikat pengunjung rela menyemut di tepian air mancur pun area sekitarnya. Dominansi minat mengabadikan kunjungan di tempat bersejarah. Keriangan melempar koin peruntungan dari kisah jodoh hingga kemapanan hidup.
Menarik menyimak sejenak keindahan arsitektura ini. Diorama patung di tengah air mancur terpahat megah. Rentang pembangunan antara tahun 1732-1762 dengan perancang Nicola Salvi atas perintah Paus Clement XII.
Wafatnya Nicola Salvi yang semula hendak mengusung konsep patung Agrippa dan Trivia, meski tertunda pembangunan tetap berlangsung. Dilanjutkan oleh perancang yang lain. Air mancur berdimensi lebar 49,15m dan tinggi 26,3m merupakan air mancur Baroque tertinggi di kota dan kawentar di dunia.
Poseidon sang Dewa laut mengendarai kereta berbentuk kerang. Ditarik sepasang kuda nan gagah. Kuda yang terlihat tenang dan patuh di sebelah kiri dan kuda yang gelisah seolah berontak di sebelah kanan. Keindahan arsitektura rumit penuh makna.
Pengambaran laut dan air pada umumnya yang dinamis. Keanggunan Poseidon dalam balutan kalem dan kewibawaan kerja keras menghela kuda liar. Diorama patung di tengah air mancur berbicara tentang Taming of The Waters atau seni kelola menjinakan air.
Inspirasi seni menjinakkan air. Perpaduan antara sejuk bermanfaat dan gelora berbahaya. Berlaku hingga kini. Mewujud dalam banjir dan kekeringan bagian dari siklus. Air dan perubahan iklim yang menjadi tema Hari Air Sedunia 2020.
Implikasi Kekinian, Poseidon Darat Penjinak Air
Seni menjinakkan air tetap menjadi tantangan hingga kini. Tak jarang menjadi bulan-bulanan sajian gorengan isue politis. Tulisan ringan ini tak hendak menyoalnya.
Poseidon dengan seni menjinakkan air mewujud dalam aneka tataran. Mulai dari global, regional hingga ranah individual. Masing-masing memerlukan seni tersendiri sesuai dengan kapasitasnya. Ini adalah ranah "Poseidon Darat" karena menyoal air daratan.
Seni menjinakkan air pada tataran global-Nasional. Tentunya diperlukan grand design yang utuh. Memadukan aneka sumberdaya untuk kepentingan besar. Tak berbekal kapasitas, tak hendak menyoalnya agar tidak bias.
Seni menjinakkan air pada tataran regional-parsial. Kaidahnya tidak berbeda banyak dengan kepentingan global. Pembeda dalam skala teba kelola. Kompleksitas disesuaikan dengan karakter wilayah.
Tetap diperlukan rancangan yang padu antar sektor maupun kewilayahan. Takkan berani mengulik rinci tanpa kapasitas yang memadai. Biarlah Poseidon Darat  penjinak air yang melakukannya dengan apik.
Sebagai orang awam penyuka rawa, terpikat dengan bentang alam Jabodetabek. Paduan antara Laut Utara Jawa, disambung dengan dataran hingga ke Gunung Salak, Pangrango di Selatan. Terbayang pergerakan uap air hingga kondensasinya dan Bogor sebagai kota hujan.
Lansekap Jabodetabek sungguh apik. Keberadaan rawa sebagai cekungan penyimpan dan penata limpahan air. Pernah menuliskannya dalam Jabodetabek kawasan seribu rawa, riwayatmu kini. Pastinya para pakar pelaku penjinak air mengenali dan merumuskan seni pengelolaannya.
Masih dalam sempilan parsial bahkan hanya spot sangat mikro. Kembali amatan kepo penyuka pinggiran kali menyajikan pengelolaan spot kali. Semisal seribu cinta untuk kali Blongkeng-Magelang, ekowisata di taman bendungan, dan pesona bendung Tirtanadi.
Seni menjinakkan air pada tataran personal-individual. Personal-individual dapat berupa perorangan, keluarga hingga instansi tunggal. Memadukan seni mengelola air yang diterima dan menggunakannya dengan bijak.
Cukup banyak instansi yang melakukannya. Semisal di Bandara A. Yani Semarang. Pengunjung kamar kecil dapat mengamati dan merasakan hasil karya Poseidon penjinak air lokal. Air untuk flush adalah hasil daur ulang yang berbeda keran dengan air bersih.
Nah yang ini dapat dilakukan oleh penjinak air personal. Penerapan lubang resapan biopori (LRB) yang digagas dan dipoluperkan oleh Bapak Kamir Raziudin Brata. Beliau pengajar pada Program Studi Ilmu Tanah di IPB. Melalui LRB beliau menerima penghargaan kalpataru tahun 2015.
Lubang resapan biopori berupa lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah. Berdiameter 10 cm dan kedalaman 100 cm atau kurang jika air tanah dangkal. Mampu mengurangi genangan dan memberi kesempatan air hujan mengisi bumi.
Penerapan LRB dan sumur resapan di pekarangan bagian dari seni mengelola air. Penggunaan air secara bijak oleh setiap rumah tangga juga menjadi bagian seni menjinakkan air. Banyak kiat telah dipublikasi di aneka media masa.
Begitupun gerakan seni budaya yang berupaya memelihara sumber air. Tradisi ruwat bumi, bebersih mata air, resik-resik kali semua berupaya menjinakkan air.
Secara personal setiap kita memiliki kiat menggunakan air secara bijak. Kelihatannya hal kecil. Namun secara agregat polulasi penduduk akan berdampak pada efisiensi penggunaan air. Bagian dari seni menjinakkan air.
Setiap tindakan pengelolaan air menjadi bagian dari inspirasi seni menjinakkan air. Selamat menjinakkan berkat air, memaksimalkan fungsi seraya menjaga kelestariannya. Memaknai Hari Air Sedunia dengan aksi nyata. Salam lestari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H