Setiap tanggal 4 Februari diperingati sebagai Hari Kanker Sedunia. Wujud dukungan semangat bagi setiap pejuang kanker. Juga untuk setiap elemen yang berkontribusi menanganinya.
Tidak akan membahas data statistika prevalensi kanker di Indonesia. Namun menyoroti, begitu hasil diagnosis disampaikan, hampir selalu disambut dengan kekalutan. Bukan hanya bagi yang bersangkutan namun berlaku bagi keluarga terdekat.
Kanker yang semula bersifat personal menjadi penyakit keluarga. Ketika seseorang didiagnosis kanker, saat itu juga seluruh keluarga dan orang-orang yang mengasihinya merasakannya. Merambatkan imbas emosional, psikologis, tak dipungkiri fisik hingga finansial
Apalagi bila yang mendapat putusan adalah kepala keluarga (bisa laki-laki, bisa perempuan). Mengemban tugas menenangkan diri sendiri sekaligus keluarganya. Sehingga seringkali dibutuhkan pendampingan yang baik bagi pejuang kanker maupun pendampingnya.
Secara khusus untuk perempuan. Begitu banyak sisi budaya yang secara tidak sadar membuatnya menyimpan rasa sakit. Begitu diperiksa, ternyata sudah berada pada stadium yang lebih lanjut.
Sensitivitas budaya menjadi salah satu faktor penting. Pendampingan pejuang kanker perempuan memerlukan pemahaman sensitivitas budaya.
Sensitivitas Budaya
Sensitivitas atau kepekaan budaya (cultural sensitivity) juga disebut sebagai empati budaya (cultural empathy). Merujuk pada penghargaan secara sadar atas budaya yang berbeda. Baik perbedaan budaya antar bangsa, bahkan antar suku dalam bangsa.
Ada upaya kemampuan untuk memahami sesuatu kajian dengan perspektif atau cara pandang orang lain. Cara pandang yang merangkum nilai, norma pun keyakinan yang hidup dalam sistem masyarakat tertentu.
Pemahaman akan sensitivitas budaya akan mempengaruhi strategi dan teknik berkomunikasi maupun bertindak. Pada gilirannya mengurangi hal-hal yang tidak perlu terjadi. Meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan bersama.
Sensitivitas Budaya dan Pendampingan Pejuang Kanker Perempuan
Laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam mengelola rumah tangga. Secara budaya ada nilai, norma dan keyakinan yang tak tertulis bahwa laki-laki sebagai kepala. Perempuan sebagai penyeimbang dan perawat keluarga.
Seorang perempuan yang sakit secara fisik. Bawah sadarnya segera menepis, kalau saya sakit, bagaimana dengan anggota keluarga. Seolah bagi seorang ibu atau perempuan sakit adalah tabu. Rasa sakit ditekannya, apabila terlihat tentu level kesakitannya karena sudah tak tertanggungkan lagi.