Segera terlihat gelombang kelompok. Para bapak dan pemuda berkumpul. Obrolan khas para pria mulai dari sawah ladang alias pekerjaan. Hingga rembug desa kepedulian terhadap tata pemerintahan alias politik.
Kelompok lain adalah para ibu dan pemudi. Obrolan domestik rumah tangga. Penjualan hasil panen yang saat itu menjadi ranah perempuan. Kadang dibumbui gosip kecil antar tetangga.
Bagian yang paling heboh adalah kelompok kanak-kanak. Semua bersukaria, aneka tembang dolanan dilagukan. Permainan tradisional digelar.
Purnaman adalah kelembagaan non formal. Masyarakat bersukaria dengan alam dan sesama. Solidaritas terbentuk secara alami. Aneka keputusan bersama lahir tanpa persidangan formal.
Solidaritas sosial juga teracik dengan sendirinya. Lik Warni keluar dengan sepiring kacang rebus. Budhe Siti membawa sabakul kecil singkong rebus. Kang Rebo menenteng satu cerek wedang jahe hangat. Jadilah kumpul sambil ngemil.
Dolanan dan tembang jamuran bagi anak perempuan. Gobag sodor yang riuh diikuti oleh bocah laki-laki maupun perempuan. Tiada ruang bagi wajah bermuram durja.
Bila ditelaah seksama, aneka wujud kecerdasan sedang diasah. Kecerdasan sosial berkembang. Setiap bocah terhubung dalam relasi sosial. Terlihat bibit-bibit muda, mana yang cenderung memimpin, mana yang suka momong penyelaras.
Gerak dan lagu disenandungkan. Kecerdasan kinestika dan musikal disentuh. Sinar lembut bulan purnama serasa menelusup ke pori-pori tubuh menggetarkan syaraf estetika yang mewujud dalam gerak dan nyanyian.
Fantasi keindahan digelorakan oleh kelembutan purnama. Mari simak ribuan puisi maupun cerpen dengan latar bulan purnama. Suasana syahdu purnama menelusup ke sel-sel kelabu, meracik diksi bagian dari kecerdasan verbal.
Ada lagi pribadi yang menempatkan suasana purnaman menjadi bagian dari kecerdasan natural. Awal ketertarikan dengan bidang antariksa. Atau memandangnya dari aspek ciptaan dan keMahaan Sang Pencipta. Awal mula kecerdasan eksistensial.