Setiap generasi memiliki cara untuk menyerap, mempertahankan dan mengekspresikan krida berkesenian tradisional. Begitu sering antar generasi menyatakan keprihatinan tentang pewarisan kesenian tradisional.Â
Generasi kini dikhawatirkan oleh generasi sebelumnya dan generasi kini mengkhawatirkan kesenian tradisional di tangan generasi berikutnya. Lah yang terjadi malah estafet kekhawatiran.
Sungguh ini bukan hasil penelitian dengan kaidah keilmuan. Menjawab sebagian pertanyaan masih berminatkah generasi Y dan Z pada kesenian tradisional. Atau lebih tepatnya bagaimana mengolah kesenian tradisional sehingga tetap relevan sesuai dengan zamannya?
Cuplikan krida Generasi Y berkesenian tradisional
Generasi Y, Gen Y atau generasi Langgas yang lazim disebut dengan generasi milenial. Pilahan kelompok demografi pasca Gen X. Meski tanpa batas waktu yang eksplisit, biasanya para peneliti mempergunakan generasi tahun kelahiran awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an- awal 2000-an. Anggap saja di rentang 1980 - 1995. Saat ini tahun 2019 mewakili generasi berusia 24-39 tahun.
Karakteristik khas generasi ini ditandai dengan akrab dekatnya mereka dengan komunikasi, media dan teknologi digital. Era digital mewarnai perkembangannya. Begitupan dalam berekspresi termasuk berkesenian tradisional.
Mengambil lahan pandang super mikro saat pagelaran kethoprak, salah satu wujud kesenian tradisional Jawa, pada tanggal 15 Juni 2019 kemarin. Mari simak bagaimana generasi Y ini berperan serta atau malah menjadi faktor penentu kelancaran pertunjukan.
Berbincang singkat dengan Mas Wikan Dwi Setyaji, SSn. Pedhalangan (25 tahun). Beliau adalah pelatih muda untuk kerawitan di GKJ Sidomukti. Semangatnya luar biasa, merangkul pangrawit pecinta seni gamelan aneka latar belakang usia. Dari remaja belasan tahun hingga Profesor yang bergabung.
Nah kali ini berkenalan dengan mbak Kaesi Wulan, SSn. Kar (25 tahun) lulusan ISI Solo. Suara bening beliau berpadu dengan swarawati yang lebih senior mengawal pertunjukan. Mbak Kaesi aktif di beberapa sanggar.
Sebagai generasi yang akrab dengan media komunikasi digital, teman-teman crew komunikasi sangat berperan. Desain promosi hingga teknis pementasan digarapnya.Â
Berseragam hitam saat pentas, dengan sigap membantu setiap pemain mulai dari alur keluar masuk panggung sesuai arahan sutradara. Mengajari penggunaan flip-on untuk setiap pemain. Menjadikan pertunjukan tradisional dengan balutan teknologi kekinian.
Sungguh beruntung mengobrol dengan enam (6) pemain gaprukan prajurit yang berlaga dalam pagelaran. Usia muda mereka sebagai pewakil generasi Y. Keseharian beliau adalah pemain wayang orang dan ketoprak di Taman Balekambang, Solo. Menyandarkan diri pada ekspresi kesenian tradisional.
Cuplikan krida Generasi Z berkesenian tradisional
Generasi berikutnya adalah generasi Z (gen Z) yang lahir dalam rentang tahun 1995 sampao 2010. Artinya pada tahun 2019 ini berusia 9-24 tahun. Mereka lahir pada era internet. Referensi berkesenian tradisional juga melekat dengan internet. Semisal, belajar dengan sumber dari youtube.
Salah satu contoh generasi Z yang sangat lekat dengan kesenian tradisional adalah Sandrina dari IMB. Serasa mengingat decak kagum kepada penari cilik Sandrina yang seluruh gerakkannya menyentuh perasaan penontonnya.
Mewakili generasi Z, mari berkenalan dengan mbak Tera. Beliau adalah penari dan baru saja lulus SMA, sedang berproses menjadi mahasiswa ISI Yogyakarta.Â
Menyaksikan keluwesan mbak Tera menari sudah biasa. Kini menyaksikan dedikasi mbak Tera melatih empat remaja putri yaitu Mirel dkk. dengan usia belasan. Generasi Z melatih tari tradisional kepada generasi Z, luar biasa kan.
Menyapa Mas Zein (22 tahun) mahasiswa IAIN Salatiga yang aktif di UKM musik. Pada pagelaran ketoprak ini Mas Zein menjajal kemampuan di bidang peran sebagai salah seorang pangeran.Â
Untuk kawasan Salatiga, IAIN sangat terkenal sebagai ladangnya persemaian bibit pemain teater dan tarian tradisional semisal Tari Topeng Ireng yang dinamis.
Bergeser ke sudut karawitan. Kagum dengan kelincahan Huda siswa SMAN I Salatiga memainkan demung. Begitupun Samuel dari sekolah yang sama dengan kempul gong.Â
Andra yang sedang mendaftar menjadi siswa MAN Salatiga memainkan kenong. Jawaban lugu ya senang saja dengan kerawitan. Terima kasih para pewakil generasi Z yang senang berkiprah di kesenian tradisional.
Kesempatan berkesenian
Bermula dari GKJ Sidomukti yang merayakan syukur ulang tahun ke-25 dengan suguhan pagelaran ketoprak. Bapak Pdt. T. M. Eben Haezer Lalenoh, STh., MA. menyampaikan ide cerita dan Pak Amrih Gunarto, SSn., MPd. selaku sutradara meraciknya dalam lakon Songsong Agung Triwiguna Murca. Merakit tuntunan dalam tontonan. Beliau-beliau adalah bagian dari generasi X.
Pagelaran yang melibatkan banyak pihak, menarik banyak pendeta lintas gereja, lintas wilayah, instansi maupun iman. Kebersamaan untuk nguri-uri kabudayan kesenian tradisional ketoprak. Tentunya melibatkan antar generasi dari generasi sepuh baby boomers, gen X, gen Y dan Z.
Sungguh terharu dengan jawaban Pak Amrih, seniman yang menyutradarai acara ini atas ungkapan terima kasih untuk kesabaran, ketelatenan beliau melatih pemain 'amatiran'.Â
Beliau menjawab, terima kasih juga diberi kesempatan untuk 'berkesenian' dan seluruh dukungan untuk pagelaran. Dalam diri seorang seniman, darah yang mengalir menderas dengan adanya 'panggung kesempatan berkesenian'. Kesempatan dan dukungan aneka pihak untuk 'manggung' memacu dan merawat kreativitas.
Minat generasi muda berkesenian tradisional
Melongok singkat dalam skala yang sangat mikro, bagaimana generasi Y dan Z berkesenian tradisional, menghadirkan rasa syukur bangga. Super mikro karena hanya berdasarkan satu event pagelaran dengan skala wilayah observasi Salatiga Salatiga.
Salatiga, 16 Juni 2019. Salam budaya (prih)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H