Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Belajar Kearifan Lokal dari Petani saat Hadapi Fenomena Embun Beku

8 Juli 2018   23:27 Diperbarui: 11 Juli 2018   13:29 2668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyiram tanaman kentang dini hari (Dokumentasi Pribadi)

Teringat saat kemarau dingin di masa kecil kami di lereng Lawu. Bapak mengajak kami keluar untuk melihat jilatan sang agni/api di kelerengan ardi/gunung yang terlihat jelas merah membara di kegelapan malam. 

Kami diajari 'setitekna' alias perhatikan dengan sungguh, guguran dan tumpukan daun kering menjadi pemantik api di alas hutan. Kini dikenal dengan hot spot yang mudah dipetakan.

Merasa sungguh berhutang kepada generasi penerus. Jangankan mengajarkan kepada anak-anak tentang membaca tanda alam, lah diri pribadipun gagap membaca pesan yang disuratkan oleh alam. Mendukakan pengasuh, ibu Merbabu.

Mangsa Kasa (Kartika) Belajar Kearifan Lokal

Menurut pranata mangsa, rentang waktu 22 Juni-1 Ags (41 hari) ini termasuk mangsa ke 1 atau kasa yang biasa disebut kartika. Pilahan utamanya adalah ketiga -- terang atau kemarau tiada hujan. Sebagai penciri daun-daun berguguran, kayu mengering, belalang masuk ke dalam tanah. Candra yang digunakan adalah sesotya murca ing embanan (permata yang lepas dari pengikatnya).

Tanaman dan hewan sebagai titah ciptaan merespon perubahan cuaca ini dengan bijak. Suhu tinggi dan kelembaban udara yang rendah memacu penguapan yang tinggi. Tanaman bisa mengalami defisit air. Secara alami tanaman menggugurkan daunnya untuk mengurangi penguapan agar dapat bertahan hidup.

Begitupun belalang. Mengantisipasi perubahan suhu dengan amplitudo (rentang suhu tertinggi dan suhu terendah) yang tinggi, belalang masuk ke dalam tanah. Titah hidup bekerja sama dengan alam ciptaan. Membaca gejala dan menyikapinya.

Begitupan dengan manusia sebagai titah tertinggi. Melalui akal budi, manusia melakukan amatan, mencatatnya dan belajar menjadi 'titen' memahami penciri perubahan alam. Menyebutnya dengan candra yang indah sesotya murca ing embanan. Gugurnya daun laksana permata yang lepas dari pengikatnya. Alam bersurat, tanda berkata, mengajar manusia untuk menjadi bijak.

Awalnya pranata mangsa ini diperkenalkan pada era kepemimpinan Sunan Pakubuwana VII. Utamanya bagi para petani di kawasan sekitar Gunung Merapi, Gunung Merbabu, sampai Gunung Lawu. Bertani ibarat menari dengan alam, harus paham perilaku alam.

Mendongak ke atas, angkasa menjadi sekolah kehidupan. Bersandarkan pada peredaran bumi dan matahari dengan penanda rasi bintang waluku sahabat para petani, disusunlah sistem pranata mangsa. Mengoptimalkan daya dukung alam dan meminimalkan risiko.

Mengaitkannya dengan smart farming, sistem pertanian yang mengintegrasikan semua informasi kealaman melalui sistem dan teknologi informasi, saya terbelalak sekaligus menunduk tergugu kagum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun