Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Belajar Kearifan Lokal dari Petani saat Hadapi Fenomena Embun Beku

8 Juli 2018   23:27 Diperbarui: 11 Juli 2018   13:29 2668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari ini cuaca di Salatiga dan beberapa daerah lain terasa dingin menusuk. Daerah Kopeng dan Ngablak yang berada di pinggang Gunung Merbabu, suhu mencapai sembilan derajat Celcius saat dini hari yang membuat penduduk menggigil. 

Sahabat dari Dieng mewartakan terjadi embun beku yang datang lebih awal. Mari sedikit mengkajinya dari pranata mangsa salah satu kearifan lokal bangsa Indonesia.

Mangsa Bedhiding Mari Belajar Membaca Tanda Alam

Teriknya udara di siang hari dan anjloknya suhu di saat dini hari terasa ekstrim. Masa kecil kami, orang tua menyebutnya mangsa bedhiding. Orang tua mengizinkan kami bermewah ria saat pagi dengan sekedar bediang, menghangatkan diri di depan perapian dapur. Kini saya mengenangnya sebagai kemewahan ada perapian nih di rumah. Ibu secara berkala membalur kaki tangan kami dengan minyak kelapa, yang kini digantikan oleh hand body lotion.

Secara kosmik, pada rentang waktu ini matahari berada pada jarak terjauh di lintang Utara belahan bumi. Meski sebenarnya bukan matahari yang mengitari bumi, namun bumi yang memutari bumi sambil berotasi pada sumbunya. Benua Australia yang berada di Selatan mengalami musim dingin.

Angin dingin dari Australia bertiup ke arah khatulistiwa melewati samudera nan luas. Mengirim angin dan udara dingin terutama di Pulau Jawa bagian Selatan. Cuaca terasa kering dan dingin.

Mari tengok sejenak bentang alam Dieng. Suhu malam hari terasa sangat dingin, angin hampir tak mampu mengangkat udara dingin dari daerah cekungan di wilayah pegunungan. 

Petani pandai membaca alam, embun beku bakalan menyelimuti areal ladang kentang di dataran tinggi Dieng. Saat temaram subuh petani bergegas menenteng gulungan selang panjang. Dimandikannya lahan kentang dengan semprotan air. Bila derajat embun beku tak terlalu pekat, cara ini berhasil menyelamatkan panenan.

Menyiram tanaman kentang dini hari (Dokumentasi Pribadi)
Menyiram tanaman kentang dini hari (Dokumentasi Pribadi)
Petani setempat menjulukinya embun upas. Embun yang mematikan. Membumikan bahasa fisika, anomali air yang memuai saat membeku. Bila cairan sel membeku dan memuai, sederhananya pecahlah dinding sel. Akibat fatalnya tanaman mati, petani gagal panen alias puso.

Beragam informasi melalui WA kami terima. Seorang sahabat dari Wonosobo berbagi, mari dulur tani yang belum menanam kentang, benamkan bibit lebih dalam. Bagi yang sudah menanam mari dangir dan bumbun lebih tinggi. Kali ini embun beku datang lebih awal. Berbagi informasi cara menyiasati perubahan datangnya mangsa bedhiding.

Alam bersurat, tanda berkata. Cuaca yang sangat kering merupakan sasmita atau tanda alam. Saatnya mewaspadai titik-titik api pemantik kebakaran hutan. Siapapun perlu waspada dan tunduk pada penataan alam. Dengan teknologi kini dikemas dalam sistem peringatan dini kebakaran hutan dengan bantuan satelit.

Teringat saat kemarau dingin di masa kecil kami di lereng Lawu. Bapak mengajak kami keluar untuk melihat jilatan sang agni/api di kelerengan ardi/gunung yang terlihat jelas merah membara di kegelapan malam. 

Kami diajari 'setitekna' alias perhatikan dengan sungguh, guguran dan tumpukan daun kering menjadi pemantik api di alas hutan. Kini dikenal dengan hot spot yang mudah dipetakan.

Merasa sungguh berhutang kepada generasi penerus. Jangankan mengajarkan kepada anak-anak tentang membaca tanda alam, lah diri pribadipun gagap membaca pesan yang disuratkan oleh alam. Mendukakan pengasuh, ibu Merbabu.

Mangsa Kasa (Kartika) Belajar Kearifan Lokal

Menurut pranata mangsa, rentang waktu 22 Juni-1 Ags (41 hari) ini termasuk mangsa ke 1 atau kasa yang biasa disebut kartika. Pilahan utamanya adalah ketiga -- terang atau kemarau tiada hujan. Sebagai penciri daun-daun berguguran, kayu mengering, belalang masuk ke dalam tanah. Candra yang digunakan adalah sesotya murca ing embanan (permata yang lepas dari pengikatnya).

Tanaman dan hewan sebagai titah ciptaan merespon perubahan cuaca ini dengan bijak. Suhu tinggi dan kelembaban udara yang rendah memacu penguapan yang tinggi. Tanaman bisa mengalami defisit air. Secara alami tanaman menggugurkan daunnya untuk mengurangi penguapan agar dapat bertahan hidup.

Begitupun belalang. Mengantisipasi perubahan suhu dengan amplitudo (rentang suhu tertinggi dan suhu terendah) yang tinggi, belalang masuk ke dalam tanah. Titah hidup bekerja sama dengan alam ciptaan. Membaca gejala dan menyikapinya.

Begitupan dengan manusia sebagai titah tertinggi. Melalui akal budi, manusia melakukan amatan, mencatatnya dan belajar menjadi 'titen' memahami penciri perubahan alam. Menyebutnya dengan candra yang indah sesotya murca ing embanan. Gugurnya daun laksana permata yang lepas dari pengikatnya. Alam bersurat, tanda berkata, mengajar manusia untuk menjadi bijak.

Awalnya pranata mangsa ini diperkenalkan pada era kepemimpinan Sunan Pakubuwana VII. Utamanya bagi para petani di kawasan sekitar Gunung Merapi, Gunung Merbabu, sampai Gunung Lawu. Bertani ibarat menari dengan alam, harus paham perilaku alam.

Mendongak ke atas, angkasa menjadi sekolah kehidupan. Bersandarkan pada peredaran bumi dan matahari dengan penanda rasi bintang waluku sahabat para petani, disusunlah sistem pranata mangsa. Mengoptimalkan daya dukung alam dan meminimalkan risiko.

Mengaitkannya dengan smart farming, sistem pertanian yang mengintegrasikan semua informasi kealaman melalui sistem dan teknologi informasi, saya terbelalak sekaligus menunduk tergugu kagum.

Betapa kearifan lokal yang tak lekang oleh zaman. Tentunya butuh sentuhan kekinian agar tetap update dengan zaman now. Kearifan lokal yang menjadi bagian kesejahteraan masyarakat lokal. Apabila setiap tempat mengoptimalkan kearifan lokal, tentunya secara global akan berdampak nyata.

Selamat bersahabat dengan alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun