Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pagar Mangkok Memperkokoh Pagar Tembok

21 Agustus 2017   09:27 Diperbarui: 27 Agustus 2017   14:00 3914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pagar mangkok kue cucur (dok pri)

Pagar Mangkok

"Thok..thok...icip-icip jangan gori (sayur nangka muda) hantaran satu mangkok sayur dari budhe di depan rumah. Lain kali satu piring singkong masih panas mengepul dari bulik samping kiri. Harumnya nangka kira-kira 1/8 buah hantaran dari simbah di belakang rumah. Menyusul satu sisir pisang ambon hasil panenan kangmas samping kanan rumah. Ataupun legitnya kue cucur buatan mbakyu pengkolan jalan.

"Ini namanya pagar mangkok" demikian terang Bapak. Mangkok? Wadahnya tidak selalu mangkok. Apalagi berjajar seperti pagar. Bukan dalam artian fisik namun arti kiasan. Hantaran tak hanya dari empat penjuru mata angin depan, belakang, kiri dan kanan rumah namun meluas hingga lapis ke sekian, belakangnya rumah depan, depannya rumah belakang, hadapan kanan kiri rumah.

Hantaran tidak selalu berjumlah banyak, satu mangkok sayur dari satu kuali atau panci besar sayur yang dimasaknya. Irisan 1/8 dari buah nangka berukuran besar. Tidak ada patokan dari yang berlebih atau berkecukupan, yang ada saling mengirim 'mangkok' apapun isinya, tanpa hitungan frekuensi. Selalu ada kata icip-icip.

Ungkapan penyerta pengakuan mari bersama merasakan yang ada pada kami. Nada rasa "se", berasal dari wadah yang sama. Semangkok sayur dari kuali yang sama, 1/8 nangka dari buah yang sama, sesisir pisang dari tandan yang sama, sepiring singkong dari dandang yang sama, secawan kue cucur dari satu baki buatannya. Sama rasa yang diwakili dengan kata icip-icip.

Rasa "se" menerima tetangga menjadi bagian keluarga atau komunitas menjadikan rasa hangat. Rasa "se" akan melahirkan saling memperhatikan tidak akan mengabaikan. Ikatan ini menjadikan antar tetangga saling menjaga keamanan, ketenteraman hidup bertetangga. Layaknya pagar? Yak layaknya pagar sesama tetangga bagaikan saling memagari saling menjaga keamanan, inilah makna ungkapan pagar mangkok.

Bahkan secara filosofis para sesepuh menyatakan luwih becik pager mangkok katimbang pager tembok yang terjemahannya lebih baik pagar mangkok dari pada pagar tembok. Kekuatan saling menjaga antar tetangga menjamin rasa aman.

Iya juga ya karena zaman dulu sekali kami terbiasa dengan rumah tanpa pagar sehingga antar tetangga begitu mudah menjangkau pintu kita untuk mengantar mangkok penganan. Hingga saatnya setiap rumah memiliki batas pagar pekarangan dimulai dengan pagar hidup. Diantaranya pagar tanaman mangkokan dan sesama tetangga bebas meminta memetik daun mangkokan untuk masakan. 

Perkembangan berikutnya muncul pagar tembok maupun pagar besi dengan aneka pengaman. Bagaikan putaran mode kini perumahan tanpa pagar pembatas rumah yang tinggi marak berkembang. Setiap kelompok rumah membentuk semacam cluster dengan penjaga keamanan di pintu masuk cluster yang menjaga selama 24 jam secara bergantian.

Pagar Mangkok Memperkokoh Pagar Tembok

pagar tembok bertitai hijau (dok pri)
pagar tembok bertitai hijau (dok pri)
Masihkah pagar mangkok di zaman sekarang? saya yakin masih ada. Tentunya dengan modifikasi wujud. Tak lagi semangkok jangan gori, mungkin sekotak bakpia pathok pewarta syukur kunjungan orang tua dari daerah Yogyakarta.

Kalau mengacu nasehat almarhum Bapak, lebih baik pagar mangkok daripada pagar tembok, bisa-bisa menjadi penghambat rezeki tukang bangunan, toko penyedia material termasuk perancang model pagar tembok maupun pagar besi. Modifikasi filosofi pagar mangkok memperkokoh pagar tembok, rasanya masih tetap relevan hingga kini. Bukan meniadakan penjagaan fisik namun melengkapi. Pendekatan harmonisasi bukan komparasi. Menumbuhkembangkan sisi humanis dalam hidup bertetangga.

Modifikasi Pagar Mangkok

Modifikasi pagar mangkok dalam skala yang lebih besar juga terjadi. Semisal tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) prioritas penerimaan tenaga kerja setempat untuk kualifikasi tertentu. Daerah sekitar sebagai penyedia tenaga kerja akan memiliki ikatan emosional dengan perusahaan. Meskipun senyatanya pola ini tidak murni falsafah pagar mangkok, rasa "se" yang hadir karena aspek kesetaraan bukan melulu yang memberi dan diberi.

Lah kalau mangkok yang dihantar bukan lagi berupa jangan gori, namun semangkok berlian atau yang sepadan. Silakan berhati-hati dan bertanya pada hati nurani. Nuansa pagar mangkok saling melindungi akan terjadi dengan mekanisme pemeriksaan berlapis dan tanggung renteng dalam suatu perkara. Yok pagar mangkok alami jangan dipelintir hingga terkilir.

***

Membuhul satu rasa "se" sari ajaran dari pagar mangkok masih tetap manjur untuk mengikat kesatuan antar tetangga. Sapaan 'Selamat Pagi...' meski hanya lewat jendela mobil yang terbuka saat terburu berangkat kerja, bagian dari memelihara rasa menjadi bagian. Kegiatan sosial membesuk yang pada umumnya menjadi wilayah para ibu juga wujud empati bertetangga.

Sungguh pagar mangkok memperkokoh pagar tembok, kearifan lokal yang tak lekang oleh waktu. Sahabat kompasiana berkenan berbagi rasa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun